Disusun Oleh : Rifai Anas Amirul Huda
Ulasan Film Indonesia – Bangkit! (2016)
Bangkit! (2016) - Action, Drama Durasi: 122 menit Sutradara: Rako Prijanto Penulis Skenario: Anggoro Saronto Produser: Reza Hidayat Pemain: Vino G. Bastian, Acha Septriasa Putri Ayudya, Deva Mahenra Rumah Produksi: Kaninga Pictures, Oreima Films
Orientasi :
Addri (Vino G. Bastian), seorang anggota Tim SAR, yang membantu
para korban saat banjir bandang melanda ibukota. Pekerjaannya yang
menyita waktu di lapangan menyebabkan dirinya tidak dapat menepati janji
untuk datang ke resital putrinya, Eka. Hal itu membuat istrinya, Indri
(Putri Ayudya) dan putra bungsunya Dwi, menganggap Addri lebih
mementingkan orang lain daripada keluarganya sendiri. Saat itu, Addri
sedang menolong Arifin (Deva Mahenra), orang BMKG yang terjebak di basement sebuah
gedung. Arifin yang akan menikah dengan dokter Denanda (Acha Septriasa)
mengetahui bahwa akan terjadi badai dan gempa bumi di Jakarta. Namun,
Hadi (Ferry Salim), atasan Arifin di BMKG, tidak percaya dan menganggap
Arifin telah menyebarkan kepanikan massal. Keadaan Jakarta semakin
genting sampai akhirnya Gubernur (Donny Damara) menghimbau agar Jakarta
dikosongkan. Kepanikan pun terjadi dan semua pihak berjuang mencari
solusi agar Jakarta tak tenggelam.
Tafsiran isi :
Jika dilihat dari trailer-nya, Bangkit! sudah cukup
menyebarkan kengerian akan Jakarta yang tenggelam. Jalanan dan
gedung-gedung pencakar langit runtuh diporakpondakan banjir serta hujan
badai. Seolah-olah film berdurasi 122 menit ini hanyalah tentang
kehancuran Jakarta akibat banjir bandang tanpa rasa, tetapi dugaan
tersebut nyatanya sama sekali keliru. Meskipun Rako Prijanto tampaknya
sangat asyik menggeluti CGI (Computer-Generated Imagery) untuk
menghadirkan bencana yang luar biasa di ibukota, ia tidak melupakan
nilai-nilai berharga di film ini. Kisah keluarga Addri pasca kematian
seorang anggota keluarga benar-benar mengiris hati. Rasa terpukul yang
dialami Indri mewakili perasaan siapapun yang kehilangan orang yang
dicintai saat dilanda musibah. Sikap bertahan dan tidak siap mati
menjadi semangat yang patut dicontoh demi mendampingi orang-orang
terkasih. Begitu pula dengan pasangan muda Arifin dan Denanda. Meskipun
terasa Acha Septriasa kurang cocok bersanding dengan Deva Mahenra,
tuturan dan perilaku antar keduanya terlihat tulus dan saling menjaga,
sehingga keduanya pantas mendapatkan akhir kisah yang baik.
Evaluasi :
Sayangnya, pesan-pesan bernilai tersebut tidak diiringi dengan penggambaran karakter yang jelas. Para karakter hanya dijelaskan profesi dan jasanya terhadap jalan keluar dari masalah banjir tersebut, tetapi sifat dan motivasi mereka masing-masing kurang tergambarkan secara rinci dan meyakinkan. Logika sederhana dan detil penceritaan pun masih terlihat dikesampingkan, terbukti dengan beberapa adegan yang membuat dahi berkerut, seperti ketika Denanda menyuntik Arifin tetapi suntikannya belum dibuka serta saat Addri dan Arifin yang berkeliling di tempat yang sama dengan mobil padahal waktu telah berlalu cukup lama. Selain itu, latar waktu yang kurang jelas dan bencana yang tidak merata (Jakarta terbilang kecil, tetapi banyak lokasi yang masih utuh dan lokasi lain sudah hancur) menimbulkan banyak pertanyaan di kepala. Perubahan keputusan Hadi di depan Gubernur pun menimbulkan, mungkinkah seorang atasan BMKG memiliki sikap yang plin-plan seperti itu? Keraguan ini muncul karena, sekali lagi, tidak ada gambaran dan alasan yang jelas untuk karakter Hadi.
Rangkuman :
Berbicara tentang visualnya, film yang mengambil 1950 shot
dalam 100 hari masa syutingnya ini berhasil membuat takut karena tidak
sanggup membayangkan bagaimana jadinya jika Jakarta benar-benar
tenggelam. Mungkin ini adalah prediksi, mungkin juga hanya sekedar
fiksi. Visualisasi hujan lebat, banjir bandang, badai, dan gempa bumi
dalam film ini memang termasuk mengerikan, terutama bagi warga Jakarta.
Bayangkan saja jutaan warga Jakarta harus segera mengungsi keluar kota
dalam waktu hitungan jam, sementara banyak jalanan runtuh menuju luar
kota. Teknologi CGI dalam membuat bencana-bencana tersebut memang belum
terlihat sempurna, tetapi cukup mumpuni untuk menjadikan Bangkit!
sebagai salah satu pelopor film bencana di Indonesia. Bukannya mustahil
jika setelah ini banyak sineas yang tertantang untuk memproduksi film
yang menggunakan latar bencana yang berbeda.
Adegan-adegan heroik dan berdasar kemanusiaan menjadi keunggulan dari Bangkit!
Kecerdasan dan keingintahuan yang besar adalah kunci utamanya. Hal ini
mengacu pada tokoh Arifin, yang menurut saya adalah pahlawan yang
sebenarnya. Tanpa Arifin, tidak akan ada peringatan siaga dan evakuasi
di Jakarta. Semuanya akan terasa seperti hujan dan banjir biasa. Karena
rasa ingin tahu yang amat besar, Eka pun berjasa dalam “menuntun” para
tokoh lainnya menuju misteri terowongan bawah tanah yang tidak pernah
terungkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!