Jumat, 30 November 2018
Analisis Film Di Balik 98 Berdasarkan Sudut Pandang Psikologi Politik
Oleh :
Anandia Jazzy Ajaria 185120300111029
Rifai Anas Amirul Huda 185120300111030
Fakhrul Rifqi Kristanto 185120300111031
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Film ini merupakan cerminan dari masyarakat, terinspirasi dari gejala sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat. Vera (2015:91) mengatakan bahwa film merupakan media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar di mana-mana, khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek tertentu. Film dapat mencerminkan kebudayaan suatu bangsa dan memengaruhi kebudayaan itu sendiri. Selain sebagai sumber dari hiburan populer, film juga menjadi media untuk mendidik dan memberikan doktrin kepada masyarakat. Film berfungsi sebagai sebuah proses sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Film juga berfungsi sebagai media informasi. Selain sebagai media informasi, film juga merupakan dokumen sosial. Melalui film, masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Film sebagai media komunikasi massa memiliki peran yang cukup penting yaitu sebagai alat untuk menyalurkan pesan-pesan, dan simbol-simbol kepada penontonnya. Pesan dan simbol tersebut digambarkan secara tersurat maupun tersirat dalam suatu film. Pesan tersebut dapat membawa dampak positif maupun negatif.
Film di balik 98 merupakan film karya Lukman Sardi dimana film ini berusaha mengangkat kejadian-kejadian yang jarang terungkap di balik peristiwa penggulingan rezim Orde Baru di tahun 1998. Terutama aspek humanitas yang melibatkan sejumlah aktor, seperti aktivis mahasiswa, pegawai Istana, anggota TNI, keluarga Tionghoa, dan pemulung, di balik peristiwa tersebut.hun 1998. Ketika ekonomi Indonesia mengalami krisis dan rupiah yang merosot sampai Rp 11.000,00 per dolar AS (dari Rp 2.447,00 per dolar ASsebelum krisis), membuat masyarakat semakin panik, terjadi pemborongan dan penumpukan barang-barang oleh pihak-pihak yang cukup berdana untuk melakukannya (Anggraeni, 2014:20).
Menurut Widjojo (dalam Kasenda, 2015:111) keresahan masyarakat atas melangitnya harga-harga sembako, ancaman putus kuliah,dan masa depan yang suram di kalangan mayoritas mahasiswa menjadi faktorpenggerak tersendiri bagi kalangan kampus dan civitas akademika untuk menyatakankeprihatinannya. Gerakan mahasiswa menyerukan tuntutan penurunan harga-hargabarang, khususnya sembako dan diikuti tuntutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi lainnya, yakni agar penimbun barang ditindak, pengangguran yang semakin luas ditangani, dan tuntutan kebijakan ekonomi lebih berpihak pada kepentinganm ayoritas rakyat, gerakan gabungan mahasiswa seluruh Indonesia juga menuntut turunnya Presiden Soeharto (Denny, 2006:21).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar Belakang tersebut kami menetapkan adanya tiga pokok bahasan yang akan kami bahas yaitu :
1. Bagaimana sinopsis film di balik 98
2. Bagaimana sudut pandang psikologi politik dalam film di balik 98
1.3 Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas psikologi sosial
1.4 Manfaat
Makalah ini dibuat dengan harapan dapat bermanfaat bagi masyarakat umum khususnya menambah khazanah ilmu pengetahuan dan untuk mengetahui penerapan-penerapan teori psikologi politik dalam studi kasus film.
BAB 2
PEMBAHASAN 2.1 Sinopsis Film di balik 98
Di balik 98 adalah sebuah judul film yang digarap oleh sutradara Lukman Sardi. Film ini sebenarnya menurut Sang empunya tergolong dalam film drama dan percintaan yang berlatar belakang peristiwa mei 1998. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa film ini banyak unsur-unsur politis yang ada dalam tersebut yang layak dikaji. Melalui tokoh-tokoh utamanya: Diana (aktivis mahasiswa), Salma (petugas rumah tangga Istana Kepresidenan), Bagus (tentara), Daniel (mahasiswa keturunan Tionghoa), dan seorang pemulung Lukman sardi ingin menggambarkan kesuruhan cerita film ini. Garis besar latar utama yang hendak disampaikan oleh Lukman Sardi sebetulnya sederhana. Pertama, pergulatan batin antara Diana (Chelsea Islan), seorang aktivis mahasiswa, dengan keluarganya yang berada di pihak rezim berkuasa. Kakaknya, Salma (Ririn Ekawati), adalah pelayan rumah tangga Kepresidenan. Sedangkan kakak iparnya, Letnan Dua Bagus (Donny Alamsyah), adalah seorang anggota militer.Sebagai seorang aktivis mahasiswa penyokong reformasi, Diana selalu berbenturan pendapat dengan kakak dan iparnya itu. Tetapi hal itu tidak menghalangi Diana untuk terus terlibat dalam aksi-aksi mahasiswa menuntut pelengseran Soeharto.Di sisi lain, Salma selalu mengkhawatirkan keselamatan adiknya ketika mengikuti aksi-aksi mahasiswa. Terutama setelah peristiwa ‘Tragedi Trisakti’, yang memakan korban jiwa sejumlah mahasiswa. Alhasil, ketika berita kejadian itu tersebar, Salma yang sedang hamil tua meninggalkan pekerjaannya untuk mencari sang adiknya. Sayang, ia terjebak di tengah kerusuhan.Posisi dilematis juga dialami oleh Letnan Bagus. Sebagai aparat negara, yakni TNI, ia harus berhadapan dengan adik iparnya, Diana, yang berada di barisan mahasiswa. Ia juga mengalami galau luar biasa saat mengetahui istrinya hilang dalam keadaan hamil tua. Ia dipaksa memilih antara tugas atau mencari istri yang sedang dirundung bahaya.Kedua, pergulatan batin yang dialami Daniel (Boy William), seorang mahasiswa keturunan Tionghoa, yang rajin mengikuti aksi mahasiswa lantaran berpacaran dengan Diana. Ironisnya, setelah peristiwa Tragedi Trisakti, yang kemudian dibuntuti dengan kerusuhan sosial selama 3 hari, Daniel yang kembali ke rumahnya menemui kondisi tragis: rumahnya hancur diamuk massa, keluarganya hilang entah kemana, dan umpatan bernada rasialis di dinding rumahnya. Tak hanya itu, ia juga harus berjibaku menghindari amuk massa dan razia anti-Tionghoa.Ketiga, dilema seorang pemulung (Teuku Rifnu Wikana) yang selalu berusaha menyenangkan anaknya (Bima Azriel). Sayang, sang ayah gagal mewujudkan impian sang anak yang sangat menginginkan kaos pemain sepak bola PSSI bernomor punggung 10, atas nama Kurniawan Dwi Yulianto, yang terpajang di sebuah toko olahraga. Ironisnya, ketika kerusuhan melanda Jakarta, kaos tersebut turut terjarah oleh massa.
Salah satu kejadian yang juga dipotret oleh Di Balik 98 adalah peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Memang, pasca Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa pada tanggal 12 Mei 1998, Jakarta dilanda kerusuhan sosial selama tiga hari (13-15 Mei 1998).Dalam Di Balik 1998, kejadian ini menjadi bagian yang penting. Digambarkan Jakarta yang diselimuti asap. Salma, sang pegawai Istana, terjebak di tengah amuk massa. Ia terlihat ngeri melihat kejadian itu: motor dan mobil dibakar, supermarket dan toko dijarah, dan orang Tionghoa dikejar-kejar.Namun, efek kerusuhan yang bernuansa rasialisme itu coba diceritakan oleh Di Balik 98 melalui sosok Daniel dan keluarganya. Keluarga Daniel menjadi sasaran amuk massa. Rumahnya dihancurkan. Ayah dan adiknya terpaksa bersembunyi di pengungsian. Daniel sendiri, yang baru pulang dari aksi bersama mahasiswa Trisakti, syok menyaksikan rumahnya yang sudah hancur dan keluarganya yang sudah tidak ada. Tak hanya itu, ia terpaksa mengendap-ngendap di jalanan sepi untuk menghindari razia anti-Tionghoa. Alhasil, karena dikejar rasa takut, Daniel dan keluarganya memilih meninggalkan Indonesia.
Kerusuhan memaksa Presiden Soeharto pulang dari Kairo lebih awal. Pemerintah dihadapkan pada situasi yang sulit. Tokoh masyarakat dan beberapa perwakilan Ormas secara langsung meminta Presiden Soeharto mundur. Namun ia bergeming dan berencana membentuk komite dan kabinet reformasi untuk menjawab tuntutan tersebut.Sementara itu, nasib baik enggan untuk berpihak kepada Bagus. Diana, adik iparnya, aktivis reformasi, harus berbenturan pendapat dengan kakaknya ketika mengetahui Salma kakaknya hilang di tengah peristiwa kerusuhan. Diana menuduh Bagus tidak bisa menjaga Salma. Keadaan semakin pelik ketika Daniel, pacar Diana, keturunan Tionghoa yang juga ikut berjuang menuntut perubahan, harus kehilangan ayah dan adiknya dalam kerusuhan. Bahkan Daniel hampir terjebak sweeping warga yang menyaring orang-orang Non Pribumi, yang saat itu menjadi puncak issue rasial di Indonesia. Untungnya Daniel selamat dan menemukan keluarganya lalu ikut exodus meninggalkan Indonesia.Presiden Soeharto membentuk komite dan kabinet reformasi yang tidak mendapat tanggapan positif. Bahkan ketua MPR Harmoko meminta Presiden untuk mengundurkan diri. Selain itu ada 14 menteri menolak tergabung dalam kabinet reformasi.Salma terselamatkan dan dibawa ke sebuah rumah sakit. Di saat detik kelahiran anak pertamanya, Bagus dan Diana menemukan Salma. Bayi yang mereka nantikan dilahirkan.17 Tahun berlalu. Daniel kembali ke Jakarta dengan membawa abu kremasi ayahnya. Ayahnya ingin beristirahat untuk selama-lamanya di tanah kelahirannya itu. Daniel menemukan Diana. Keduanya masih memiliki semangat yang sama untuk melanjutkan semangat reformasi.
2.2 Perpektif Psikologi Politik dalam film di balik 98
Psikologi politik mewakili penggabungan dua disiplin, yaitu ilmu po litik dan ilmu psikologi. Psikologi politik menyangkut penjelasan tentang apa yang dilakukan orang-orang, dengan mengadaptasikan konsep-konsep psikologi. Sehingga konsep-konsep ini bermanfaat dan relevan dengan politik, kemudian mengaplikasikannya pada analisis tentang suatu masalah atau isu politik.
Politik sendiri mempunyai kepribadian politik yang mengarah ada teori dan sifat-sifat yang menggambarkan politik. Dari segi teori dan pendekatannya, psikologi politik mengarah pada pendekatan psikoanalisa, dimana segala tingkah-laku manusia bersumber pada dorongan-dorongan yang terletak dalam ketidaksadaran. Sedangkan pada teorinya, psikologi politik mengarah pada teori sifat dan teori motif.
Bila dikaitkan dengan film, tingkah laku masyarakat Indonesia dalam melakukan pemberontakan terhadap kinerja Presiden Soeharto pada masa itu adalah salah satu cerminan dari pendekatan psikoanalisa. Segala tindakan yang dilakukan baik mahasiswa ataupun kalanga nmasyarakat kecil biasa bersumber pada dorongan-dorongan dari dalam dir imereka. Ketidak sadaran yang ada dalam diri mereka memunculkan tindakan yang menurut mereka akan menghasilkan sebuah perubahan.
Bila dilihat dari teori motif yang mengarahkan perhatiannya pada kebutuhan akan kekuasaan, masyarakat Indonesia pada masa itu berjuang keras menuntut adanya keadilan dan kesamarataan dari pemerintah. Pemberontakan yang dilakukan bukan semerta-merta hanya basa-basi atau keinginan pribadisaja, melainkan karena menuntut adanya perubahan pada kepemimpinan Indonesia. Penggantian presiden adalah hal utama yang dijadikan alasan mengapa masyarakat Indonesia melakuka npemberontakan padamasaitu.
Keadilan pada tahun 1998 tidak terasa. Adanya perbedaan pelakuan dari pemerintah terhadap militer, mahasiswa, kalangan menengah atas sampai kalangan bawah mendorong masyarakat untuk menegakkan keadilan. Dikarenakan faktor pemerintah yang tidak mau mendengar secara baik-baik pendapat dari masyarakat, maka masyarakat Indonesia memilih untuk mengajukan aspirasi mereka dengan cara memberontak. Hal ini berkaitan dengan afek dan emosi yang bisa saja terjadi dan berkaitan dengan dunia psikologi politik.
Dalam psikologi politik juga terdapat studi tentang kepemimpinan dalam politik. Kepemimpinan itu sendiri menurut Burns (1978) memiliki dua jenis dasar, yaitu kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional. Namun, pada masa sebelum reformasi dua jenis dasar ini tidak terlihat dalam pemerintahan Soeharto. Karena, dua jenis kepemimpinan ini melibatkan pemimpin yang langsung mendekati rakyat dan ikut berkontribusi dengan apa yang dilakukan oleh rakyat.
Ikhtisar tentang nasionalisme. Bangsa adalah komunitas orang-orang yang merasa mereka secara mendalam adalah memiliki satu takdir yang sama untuk masa yang akan datang. Para nasionalis memberikan loyalitas utama mereka bagi bangsa yang dipresepsikan, yang dapat dianggap sebagai sebuah in-group identitas politik. Begitu pula dengan Indonesia yang rakyatnya memiliki rasa persaudaraan dan semangat juang yang tinggi. Jadi, tidak heran bila masyarakat Indonesia akan bersatu demi mewujudkansatucita-cita yang sama.
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulandalam film di balik 98
Kesimpulan dari film ini jika dikaitkan dengan sudut pandang psikologi politik yang merupakan satu kajian ilmu “inter disipliner” antara ilmu politik dengan ilmu psikologi. Terdapat kajian utama yaitu pikiran, seperti di dalam film mereka melakukan pemberontakan dengan harapan segala aspirasi tersampaikan dn terwujudkan demi hal yang lebih baik bagi mereka. emosi, dan perilaku manusia dalam politik. Seperti yang terjadi didalam film yaitu dimana terjadi insiden pemberontakan masyarakat dikarenakan pemerintah yang enggan mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat.
Setelah runtuhnya orde baru dan diganti dengan reformasi, negeri kita banyak sekali yang melahirkan sosok politisi-politisi tapi sedikit sekali yang melahirkan sosok negarawan. Bahkan pemeran film sendiri mengatakan demikian. Penerapan psikologi untuk memahami konflik dan tindak kekerasan yang ekstrim seperti yang terdapat dalam film di balik 98 ini dapat dipahami secara individu ataupun kelompok. Konflik politik seringkali merupakan konsekuensi dari perbedaan etnis dan “etnosentrisme” Sumner (1906).
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Dewi. 2014. Tragedi Mei 1998 dan lahirnya komnas perempuan. Jakarta: Kompas.
Denny. 2006. Jatuhnya soeharto dan transisi demokrasi indonesia. Yogyakarta. LKIS.
Vera, Nawiroh. 2015. Semiotika dalam riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!