Nama : Rifa’i Anas Amiurl Huda
NIM : 185120300111030
Kelas : B.Psi 2
Fakultas/Prodi : FISIP/Psikologi
Jurnal ini adalah jurnal penelitian
yang membahas mengenai kajian dampak ekonomi makro terhadap NPL dan CAR. NPL
(Non Performing Loan) adalah salah satu indikator kesehatan aset suatu bank.
Indikator tersebut dapat berupa rasio keuangan pokok yang mampu memberikan
informasi penilaian atas kondisi permodalan, rentabilitas, risiko kredit,
risiko pasar, serta likuiditas. NPL yang biasa digunakan adalah NPL neto, yakni
NPL yang telah disesuaikan. Penilaian kualitas aset sendiri merupakan penilaian
terhadap kondisi aset bank serta kecukupan manajemen risiko kredit. Hal
tersebut berarti NPL merupakan indikasi tentang adanya masalah dalam bank
tersebut, yang apabila tidak segera diatasi, maka akan membawa dampak buruk
bagi bank itu sendiri.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.
6 / 10 / PBI / 2004 tanggal April 2004 mengenai Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum, menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) yakni
sebesar 5%. Faktor pendukung terjadinya NPL diantaranya :
1. Tidak
adanya Itikad Baik dari Debitur, artinya debitur tidak mampu/ tidak mau
melunasi bunga dan pokok pinjaman. Hal ini akan menyebabkan nilai NPL pada bank
akan semakin besar, secara otomatis kondisi ini akan mengurangi deviden dan
laba dari bank.
2. Kebijakan
dari Pemerintah dan Bank Indonesia. Misalnya kebijakan kenaikan BBM tentu akan
menyebabkan perusahaan yang mengkonsumsi BBM untuk kegiatan produksinya akan
membutuhkan dana tambahan yang diambilkan dari laba (yang dianggarkan untuk
pembayaran cicilan kredit), guna memenuhi biaya produksi. Pada akhirnya,
perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam membayar utang-utangnya pada
bank.
3. Kondisi
Perekonomian. Kondisi perekonomian suatu Negara juga memiliki pengaruh atau
andil cukup besar terhadap kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya.
Indikator-indikator ekonomi makro yang mempunyai pengaruh terhadap NPL antara
lain:inflasi dan kurs rupiah.
Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah
rasio kecukupan modal yang berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan
dihadapi oleh bank. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank
tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang
berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan
operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. CAR
merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya
sebagai akibat dari kerugian – kerugian bank yang di sebabkan oleh aktiva yang
berisiko.
Dalam Perekonomian Indonesia, besar
bank-nya masih mengandalkan kredit sebagai pemasukan utama untuk membiayai
kegiatan operasionalnya. Dalam jurnal dijelaskan bahwa Dari aspek internal,
Altunbas (2000) menemukan hasil bahwa Net Interest Margin (NIM)berpengaruh
positif terhadap NPL. Hughes and Mester (1993) dan Girardone (2004) menemukan bahwa
ada hubungan positif antara NIM dengan non performing loan. Begitupun Misra dan
Dhal (2010) menemukan bahwa LDR berpengaruh positif terhadap NPL. Faktor
lainnya yaitu Aset bank, pada penelitian Misra dan Dhal (2010) mengemukakan bahwa
Aset berpengaruh negatif terhadap NPL. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Ranjan dan Dhal (2003) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara Operational
Assets (OCTA) dan Capital Adequacy Ratio (CAR) dengan NPL.
Adapun faktor penyebab pembiayaan
bermasalah dari sisi eksternal yang direpresentasikan dengan Gross Domestic
Product (GDP) dan inflasi. Salas dan Saurina (2002) menunjukkan adanya hubungan
antara GDP dengan NPL. Hasil penelitian itu ditegaskan oleh Jimenez dan Saurina
(2004) bahwa NPL dipengaruhi oleh GDP. Wu (2003) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP di beberapa negara berkembang Asia Timur dan
Asia Tenggara berpengaruh negatif signifikan terhadap kredit bermasalah (NPL).
Penelitiannya menggunakan persamaan NPL yang dipengaruhi oleh pertumbuhan GDP,
perubahan harga perumahan, primary landing rate dan rasio corporate real estate
loans terhadap individual real estate loans. Hasilnya menunjukkan bahwa
peningkatan 1% pertumbuhan GDP akan menurunkan rasio NPL sebesar 0.122 %.
Dari kesimpulan jurnal ini disebutkan bahwa secara umum
bank dengan jumlah modal lebih kecil kurang mampu untuk segera menyesuaikan
diri menghadapi peningkatan rasio NPL akibat dari depresiasi nilai tukar, oleh karenanya
bank-bank dengan modal lebih kecil harus berhati-hati menghadapi risiko nilai tukar.
Sedangkan kebijakan restrukturisasi kinerja
bank perlu dilakukan pada bank dengan aset besar, karena peningkatan suku bunga
ternyata menyebabkan penurunan CAR lebih tinggi pada kelompok bank beraset
besar.
Menurut pendapat saya pribadi bahwa
dalam menjalankan fungsi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah Bank Indonesia
dituntut untuk menjalankan kebijakan Macroprudensial dengan efektif serta
berkoordinasi dengan OJK selaku penerima mandat pelaksanaan kebijakan
microprudensial. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadinya resiko bank yang
tidak mampu likuid sehingga berpotensi terjadinya gejolak sistemik yang mampu
menyebabkan guncangan ekonomi di Inonesia. Dari pihak bank-bank umum yang
bermodal kecil juga dituntut akan mampu memperkirakat resiko likuiditas
terhadap kemampuan bank-nya untuk dapat eksis dan bertahan terhadap gejolak
nilai tukar yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Apabila bank yang bermodal kecil
tidak siap maka akan kesulitan dalam hal likuiditas ketika terjadinya kenaikan
NPL akibat gejolak ekonomi yang terjadi. Sedangkan dari pihak bank yang
bermodal besar, pemerintah diharapkan berhati-hati dalam penetapan kebijakan
suku bunga. Jika suku bunga mengalami peningkatan suku bunga ternyata
menyebabkan penurunan CAR lebih tinggi pada kelompok bank beraset besar. Jika
suatu bank mengalami penurunan CAR maka bisa dipastikan akan terjadi kesulitan
pembiyayaan operasional bagi bank-bank besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!