Korupsi, kata yang sering kali kita
dengar pada pemberitaan di media-media. Entah penangkapan pejabat desa, bupati,
dan sampai elite politik di Senayan.
Terbaru kita mendengar tertangkapnya ketua umum Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Romahurmuzi alias Romi yang diduga terlibat dalam praktik
suappejabat kemenag. Korupsi sejatinya bukanlah hal baru yang tabu untuk
dibahas. Banyak tulisan-tulisan yang sudah bertebaran mengenai korupsi. Entah
itu pembahasan tentang pentingnya penegakan korupsi, penguatan lembaga korupsi
atau himbauan masyarakat agar terhindar dari praktik korupsi. Banyak faktor
yang menyebabkan korupsi itu sendiri, jikalau dikalangan pejabat, tingginya
ongkos politik dinilai memicu praktik korupsi dan bagi-bagi kekuasaan. Pejabat
yang ingin menduduki kursi DPR misalnya, harus mengerahkan segala kemampuannya
baik SDA ataupun SDM demi memperoleh kemenangan. Tak diragukan lagi mereka rela
mengeluarkan banyak uang untuk membujuk masyarakat agar mau memilihnya. Selain
itu ada juga politik mahar yang diusung sebagian partai politik. Politik mahar
itu sendiri merupakan sejumlah uang yang digelontorkan bakal calon kepada
partai politik sebagai syarat mereka untuk bisa memakai atau “menunggangi”
kendaraan politik. Alhasil ketika mereka dipilih banyak yang lupa akan visi
misinya banyak yang gelap mata, yang terbesit di pikiran mereka hanyalah
bagaimana cara mengembalikan modal mereka ataupun menutup utang-utang politik
yang telah digunakan untuk memenangkan sebuah kursi.
Lantas apakah korupsi hanya
melibatkan kaum elite birokrat saja?, jawabannya tidak. Korupsi tidak hanya
dilakukan oleh kaum elite birokrat melainkan seluruh pihak masyarakat terkhusus
mahasiswa. Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai”agent of change” masyarakat
juga mampu terlibat dalam tindak pidana korupsi. Misalnya kasus mahasiswa titip
absen, kasus mahasiswa memanipulasi laporan keuangan organisasi, kasus
mahasiswa menyontek, kasus mahasiswa membayarkan calo untuk masuk di sebuah
instansi-instansi. Ambil contoh kasus mahasiswa menyontek. Mengapa menyontek
bisa disamakan dengan korupsi?, jawabanya adalah cikal bakal dari korupsi
adalah nilai kejujuran. Menyontek merupakan sebuah tindakan yang tidak jujur,
tidak percaya diri dan tidak mau berusaha. Sifat individu yang tidak mau
berusaha namun memiliki nafsu untuk mendapatkan segalanya merupakan bibit-bibit
korupsi. Normalnya orang yang merasa tidak bisa akan belajar dan berusaha agar
mencapai standar kompetensi lulus, akan tetapi bila nilai kejujuran dalam diri
individu itu sudah hilang, yang ada hanya sifat nafsu menghalalkan segala cara
termasuk menyontek. Jika seorang mahasiswa sudah terbelenggu dalam virus
menyontek Ia akan kesulitan melepaskan nilai-nilai ketidak jujuran itu.
Mahasiswa akan cenderung berfikiran “ Ah nyontek aja daripada berusaha susah
payah tapi gak ada hasil”. Sifat-sifat seperti ini akan terus tumbuh sampai
dewasa dan sampai mereka memasuki dunia kerja apabila tidak segera dibasmi.
Mahasiswa yang terbiasa menyontek akan lebih mengandalkan seseorang dan
menganggap semuanya bisa dibayar. Alhasil ketika mereka mencari pekerjaan
mereka akan cenderung menerapkan sistem curang juga entah menyogok panitia,
mencari kenalan panitian seleksi dsb.
Dampak korupsi itu luas sekali jika
ditelaah. Mulai dari merugikan negara hingga milliyaran rupiah sampai pada
merusak pembangunan sosial, ekonomi dan budaya suatu bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!