Disusun
Oleh :
Nama :
Rifai Anas Amirul Huda
Nomer Abs : 23
Kelas :
XII. IPS 4
Pendahuluan
Perkembangan Internet di seluruh
dunia terus mengalami peningkatan termasuk di Indonesia. Menurut data yang
dikeluarkan oleh We Are Social menunjukkan pengguna internet di seluruh
dunia dari tahun ke tahun naik hingga 7,6 persen. Hingga Agustus 2015 pengguna
aktif di seluruh dunia mencapai angka 3,17 miliar. Tingginya angka pertumbuhan
tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan pengguna media sosial dan mobile.
Data mencatat pengguna media sosial aktif kini mencapai 2,2 miliar sedangkan
pengguna mobile mencapai 3,7 miliar. Facebook menjadi media sosial yang paling
banyak digunakan dengan angka mencapai hampir 1,5 miliar
(https://id.techinasia.com).
Di
Indonesia angka pengguna internet juga mengalami peningkatan. Dengan jumlah
penduduk sekitar 200 juta ada sekitar 88,1 juta yang aktif menggunakan
internet. Selama setahun –mulai Januari 2015 hingga Januari 2016 –ada sekitar
15 persen kenaikan angka pengguna internet. Pada priode yang sama terjadi
kenaikan sebesar 10 persen untuk penggunaan media sosial. Jika dililhat secara
rinci ada sekitar 79 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia dan ada
sekitar 66 juta orang yang mengakses media sosial melalui perangkat mobile.
Facebook masih menjadi layanan media sosial yang memiliki pengguna paling aktif
di Indonesia. (http://tekno.liputan6.com/).
Peningkatan
pengguna internet di indonesia ini juga berpengaruh pada meningkatnya
penggunaan media sosial. Tidak salah apabila Indonesia dikatakan sebagai negara
potensial untuk pengembangan pasar digital. Namun ada fakta terselubung dibalik
meningkatnya intensitas penggunaan internet di Indonesia. Angka penggunaan
internet khususnya media sosial yang tinggi itu tidak diimbangi dengan
penggunaan media sosial yang baik oleh setiap pengguna media sosial. Media
sosial yang memberikan kebebasan pada kita untuk mengekspresikan diri, sikap,
pandangan hidup, atau hanya sebagai tempat curhat seakan-akan memberikan
kebebasan yang sudah kebablasan. Kita patut prihatin dengan kondisi saat ini,
cukup banyak orang yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian
dan provokasi. Perubahan media sosial sebagai media komunikasi masyarakat,
sekarang mnjadi ajang propaganda opini masyarakat dengan “racun-racun” zaman
now. “Racun” zaman now sudah tidak berupa sianida, arsenik, polonium atau
sejenisnya yang sudah terbilang usang. Racun-racun yang tumbuh dan menggerogoti
jiwa masyarakat sekarang adalah maraknya berita HOAX dan ujaran kebencian.
II. Pembahasan
Ujaran kebnccian (hate speech) mnjadi masalah yang serius yang dialami masyarakat.
Kebanyakan masyarakat zaman sekarang tidak tahu batas soal penggunaan sosial
media dalam berokomunikasi. Mereka cenderung meluap-luap dalam berkspresi
terhadap suatu fnomena.Semenjak Pilpres 2014. Istilah ‘hater’ pun dikenal luas,
yang menandai orang-orang dengan kecenderungan membuat pesan ujaran kebencian
pada orang atau kelompok tertentu. Kebhinnekaan sebagai pengikat sosial diuji
karena kecenderungan praktik ujaran kebencian yang dipromosikan melalui media
sosial. Kondisi itu diperparah oleh penyalahgunaan media sosial seperti
persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoax) yang dampaknya
menimbulkan permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang
mengutamakan toleransi. Keberadaan internet sebagai media online membuat
informasi yang belum terverifikasi benar dan tidaknya tersebar cepat. Hanya
dalam hitungan detik, suatu peristiwa sudah bisa langsung tersebar dan diakses
oleh pengguna internet melalui media sosial. Melalui media sosial, ratusan
bahkan ribuan informasi disebar setiap harinya. Bahkan orang kadang belum
sempat memahami materi informasi, reaksi atas informasi tersebut sudah lebih
dulu terlihat. Hal ini berlangsung khususnya pada situasi politik tertentu,
misalnya pada saat Pemilu, Pilpres dan pada masa Pilkada serentak di beberapa
wilayah di Indonesia, dimana terdapat indikasi adanya persaingan politik dan
kampanye hitam yang juga dilakukan melalui media sosial.
Kegaduhan yang terjadi di media
sosial dinilai bisa merambat ke dunia nyata jika tidak segera diatasi.
Perbincangan yang terdapat di media sosial berpotensi “meracuni” pemahaman
publik mengenai suatu hal dalam kehidupan masyarakat. Kegaduhan di media sosial
dapat berdampak dalam kehidupan riil karena media sosial ini juga membentuk
konstruksi pemaknaan tentang asumsi sosial kita. Kegaduhan yang terjadi di
media sosial semacam itu kerap kali menggunakan sentimen identitas yang
bermuara pada hujatan dan kebencian dan karenanya dapat melunturkan semangat
kemajemukan yang menjadi landasan masyarakat dalam berbangsa. Pada akhirnya
konsep tentang kebinekaan mengalami dekonstruksi oleh argumen-argumen yang ikut
dibentuk melalui media sosial. Tebongkarnya kasus komplotan saracen,
membukakkan mata kita bahwa ada pihak-pihak yang memang menggunakan media
sosial sebagai sarana pengadu domba opini rakyt menjelang pilkada.
Pengamat Media
Sosial dari Provetic, Iwan Setiawan, menilai perbuatan sindikat penyebar ujaran
kebencian atau isu SARA dan hoax seperti grup Saracen, berakibat buruk
bagi keutuhan negara. Hal tersebut didasari analisa Iwan yang melihat hate
speech perorangan mampu memberi dampak pada masyarakat luas, apalagi jika
dilakukan terorganisir seperti Saracen. Iwan mengatakan, menggiring opini
melalui media sosial lebih gampang bila pendistribusian kontennya terorganisir.
(https://news.detik.com) . Sindikat Saracen memiliki grup di Facebook. Mereka
memproduksi isu SARA yang disebar ke media sosial. Mereka juga kerap mengirim
proposal kepada beberapa pihak terkait jasanya untuk menyebarkan ujaran
kebencian bernuasa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga
puluhan juta rupiah. Jika tidak diantisipasi pertumbuhan sindikat macam saracen
ini akan membahayakan keutuhan bangsa indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla
(Wapres JK) menyebut hoax berpotensi membuat 2 negara berperang. JK
memberi contoh korban hoax adalah hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan
Qatar.
Lantas bagaimana cara kita untuk
menanggulangi perkembangan berita hoax ?
Kini
kita banyak menyimak dan mengkonsumsi hoax berlebihan, akibatnya otak kita mual
– mual dan muntah cibiran serta makian lewat mulut kita sendiri. Kayaknya kita
sudah mulai alergi ketika menghadapi isu – isu yang kurang uenak
untuk didengar dan dibicarakan, seakan baru sebentar saja dunia sudah
diporak-porandakan oleh wacana – wacana murahan, tidak beraturan dan saling
berbenturan, sehingga kita jadi saling hasut dan bermusuhan. Kalau menurut si
mbah google salah, atau si ustad fulan bilang salah, atau juga si prof anu
blang salah, anggapnya sudah salah semuanya, walaupun kemungkinan besar
informasinya hanya kita baca lewat media yang mungkin tidak bisa dipercaya
sepenuhnya.
Media,lewatnya
kita bisa dibutakan dalam sekejap dengan racun – racun dan bahan mematikan
lainnya yang mungkin itu kita konsumsi sehari-hari. Baudrillard berargumen
bahwa,“televisi dan begitu pula media massa lainnya telah meninggalkan ruang
yang dimediasi demi menyimpan kehidupan ‘nyata’di dalamnya dan mengubah dirinya
sendiri seperti layaknya yang dilakukan virus terhadap sel yang normal. Kita
bergerak mengarungi dunia dalam citra yang disintesasikan”. Yang
demikian itu sagatlah fatal ketika kita tidak mampu memfilter dan mengcounter
apapun yang kita konsumsi lewat media. Tanpa disadari ketika berkenalan dengan
media sosial hubungan asmara denganya begitu cepat, dengannya kita merasa
menjadi Tuhan oleh karna ribuan pengikut dan tukang suka yang selalu memuja dan
memuji kita.
Hoax
atau berita bohong yang tidak sesuai realita, kinimenghegemoni dan menemukan
tempatnya yang nyaman di media, terlebih di Medsos(media sosial). Secara
realitas kita melihat paling banyak berita yang disebar melalui media sosial,
berbagai macam pengguna medsos yang tidak bertanggung jawab setiap harinya
menyebar berita yang tidak valid. Ada semacam kemauan diluar kehendak untuk
terus melakukan kejahatan, daripada menyampaikan informasi – informasi yang
sejuk dan bermanfaat. Tangan serasa ringan dalam menyebar fitnah, kebencian,
dan provokasi di media sosial yang menurut mereka adalah suatu kebanggan. Yang
kemudian itu membentuk mental – mental yang hanya berani di dunia maya saja.
Sesuai kondisi dan situasi bagaimana membuat dan menyebar hoax.
Hal
ini tentu membuat kita sering terperangkap dalam jebakan yang sudah didesain di
dunia maya oleh sebgian mereka yang banyak berkontribusi pada produk hoax. Bukan hanya di kalangan masyarakat
biasa yang banyak terperangkap dalam jebakan tersebut termasuk juga sebagian
kalangan akademisi. Kita sudah susah
membedakan mana berita yang benar dan berita yang tidak benar, saking banyaknya
dan tersistematisnya gerakan–gerakan pembuat dan penyebar hoax di media sosial.
1.
Bijaksana
dalam Membaca Berita
Banyak
contoh kasus yang terjadi seperti, adanya broadcast
pesan dengan dalih masuk surga kalau tidak di sebarkan maka akan masuk neraka,
atau pesan berhadiah jutaan rupiah, mama minta pulsa dan lain sebagainya.
Fenomena ini pada tingkatan tertentu sudah banyak tersebar dan banyak memakan
korban. Sehingga akan sangat berbahaya ketika kita sembarangan percaya pada
tulisan ataupun berita yang tidak jelassumbernya. Yang kemudian ketika dishare maka akan merubah mindset dari
si pembaca, dan tidak menutup kemungkinan akan sembarangan dalam berfatwa dan
menuduh orang, entah itu saudara, kawan, keluarga bahkan orang tua. Jangan
sampai kita terpengaruh dengan berita – berita yang membuat kita terprovokasi
dan melakukan aksi diluar etika dan berperilaku yang tidak seharusnya. Intinya
bahwa harus hati – hati dalam menggunakan media sosial.Konkretnya bahwa ada
aturan, etika dan batasan tertentu yang harus kita perhatikan. Agar supaya kita
tidak menambah keresahan dimasyarakat dalam menerima informasi yang mungkin
bisa berkategori fatal kalau dikonsumsi. Jadilah pengguna Medsos yang bijak dan
tidak mengikuti kemauan nafsu dalam bermedsos..
2.
Etika Berkomunikasi Pada Media Sosial
Pada prinsipnya, kaidah-kaidah
komunikasi baik secara langsung atau melalui media pelantara tetap harus
dijunjung tinggi. Ketika seorang individu atau masyarakat sedang berkomunikasi,
maka pada dasarnhya mereka sedang membangun unsur kepercayaan di sela-sela
relasi komunikasi. Pada saat ini medi sosial menjadi satu alat atau media yang
paling dominan dan atau paling banyak digunakan untuk berkomunikasi khususnya
di kalangan pemuda. Baik atau tidaknya komunikasi yang mereka bangun di media
sosial akan berdampak pada tatanan sosial yang ada. Oleh karenanya, menjaga
etika berkomunikasi pada saat menggunakan media sosial menjadi menjadi penting
untuk dilakukan. Ada beberapa etika komunikasi yang harus dikembangkan oleh
para pengguna media sosial diantaanya yaitu yaitu; (1) tidak memberikan
informasi pribadi secara berlebihan. (2) Berkomunikasi secara santun, dan (3)
Beropini berdasarkan fakta.
3.
Kemampuan Dalam Memilah Informasi Hoax
Pertumbuhan
penggunaan internet dan smartpohone yang terus meningkat setiap tahunnya
juga berkorelasi secara positif dengan penggunaan akun media sosial. Bersarnya
pertumbuhan tersebut harus diimbangi dengan kemampuan memilah bahan literasi
digital atau bacaan digital yang baik. Sebab jika tidak diikuti dengan
kemampuan memilah yang baik maka akan terjebak pada informasi-informasi yang
bersifat hoax atau bohong.Ada tiga cara untuk mengukur kemampuan dalam memilah
informasi yang bersifat hoax yaitu; (1) Kemampuan Memilah Judul Yang
Cenderung Profokatif, (2) kemampuan dalam mencermati alamat situs, dan (3)
kemampuan dalam memeriksa fakta pada konten informasi atau berita.
III. Penutup
Ujaran kebencian
kian meningkat jumlahnya di ranah online. Bagi masyarakat Indonesia yang plural
dampak atas persebaran hoax dan ujaran kebencian sungguh mengkuatirkan.
Kasus-kasus yang sudah terjadi sebagai akibat dari menyebarnya hoax dan
ujaran kebencian seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga. Jalan yang
ditempuh dalam mengatasi persebaran hoax dan ujaran kebencian misalnya
dilakukan oleh pemerintah dengan pendekatan struktural melalui regulasi. Selain
itu, upaya kultural melalui peningkatan kemampuan literasi media menjadi suatu
kebutuhan relevan untuk segera dilakukan dalam rangka mengembangkan keberdayaan
netizen dalam merespon merebaknya pesan-pesan kebencian di ranah online
terutama melalui media sosial.
Masifnya
peredaran informasi palsu (hoax) melalui media sosial hendaknya
menyadarkan para pengelola media arus utama untuk bekerja lebih profesional
dengan standar jurnalistik tinggi. Masyarakat butuh rujukan informasi yang
terpercaya dan pada sisi itulah media massa dapat menjawabnya melalui suguhan
informasi yang terverifikasi. Media massa harus memperjelas fungsinya sebagai
penyaji fakta empiris dan kebenaran.
Fungsi
utama kerja media massa adalah membuat masyarakat memiliki informasi yang
memadai tentang sebuah peristiwa dan fenomena. Fungsi semacam itu hanya bisa
dipenuhi jika media massa terus menyajikan fakta-fakta empiris. Informasi dari
media sosial yang belum jelas kadang begitu saja dirujuk dan dikutip media
massa arus utama dalam pemberitaan mereka. Berita itu kemudian bergulir menjadi
viral dan menjadi lingkaran setan.
Setiap
orang kini adalah wartawan (citizen journalist) ketika mereka terlibat
dalam aksi mencari, menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi. Sebagai
wartawan, perhatian pada etika adalah mutlak. Literasi media yang berkewarganegaraan harus mampu melahirkan kemampuan literasi
media yang tinggi ditandai oleh:
1) daya kritis dalam
menerima dan memaknai pesan,
2) kemampuan untuk mencari
dan memverifikasi pesan,
3) kemampuan untuk
menganalisis pesan dalam sebuah diskursus,
4) memahami logika
penciptaan realitas oleh media,
5) kemampuan untuk mengkonstruksi
pesan positif dan mendistribusikannya kepada pihak lain. Di Indonesia,
pendekatan
Masyarakat sebaiknya menyelidiki
benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi
memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu
disebarkan. Kalau sumber tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan
tidak bermanfaat, maka tidak usah disebarkan. Di sisi lain, media massa mainstream
termasuk media berita online, diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan
independensi, sekalipun media tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik
atau ekonomi tertentu. Media boleh saja diperjualbelikan, pemilik silih
berganti, tetapi news room harus dipimpin orang yang kompeten dan
bermoral dalam mengabdi kepada publik luas
Daftar Pustaka
Pratama,
Aditya Hadi (2017). Perkembangan Pengguna
Internet di Indonesia Tahun 2016 Terbesar di Dunia. https://id.techinasia.com/pertumbuhan-pengguna-internet-di-indonesia-tahun-2016. Diakses
pada 1 februari 2018
Maulana, Adhi (2015). Jumlah Pengguna Internet Indonesia Capai 88,1 Juta. http://tekno.liputan6.com/read/2197413/jumlah-pengguna-internet-indonesia-capai-881-juta . Diakses pada 1 februari 2018.
Santoso, Audrey (2017). Saracen, Penyebar Konten SARA yang Dapat Memecah Belah Bangsa. https://news.detik.com/berita/3616459/saracen-penyebar-konten-sara-yang-dapat-memecah-belah-bangsa . Diakses pada 7 febuai 2018
Juliswara, Vibriza (2017). Mengembangkan
Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita
Palsu (Hoax) di Media Sosial. Vol
4 No 2, Agustus 2017. Diambil
dari https://journal.ugm.ac.id/jps/article/view/28586.
Diakses pada 7 februari 2018.
Mujahiddin,
M. Said Harahap.(2017). Model Penggunaan Media Sosial di Kalangan
Pemuda. http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/interaksi/article/view/1200 . Diakses pada 6 februari 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!