Belakangan ini, Islam, dan nasionalisme acapkali dipersandingkan. Kedua
term ini menjadi begitu diskursif tatkala mencermati fenomena kekerasan atas
nama Islam di satu pihak, dan catatan historis di lain pihak. Lebih dari itu, Islam,
dan nasionalisme seolah menemukan momentumnya manakala nilai-nilai keislaman,
dan nasionalisme masyarakat diakar rumput (grassroot) mulai memudar.
Indikasinya mudah diamati. Pelbagai kasus korupsi,1 narkoba,2
teorisme,3 dan radikalisme4 di Indonesia pelakunya mayoritas beragama Islam.Di sisi yang sama, pendangkalan nasionalisme terjadi di mana-mana. Kasus
pelecehan Lambang Negara yang melibatkan artis papan beberapa waktu lalu
adalah bukti nyata.5
Poin terpenting yang harus dipahami, bahwa Islam dan nasionalisme sesungguhnya
merupakan satu irisan yang saling berhubungan. Satu dan lainnya
tidak dapat dipisahkan. Apalagi praktik keduanya di Indonesia dari waktu ke
waktu saling melekat. Islam Abangan, dan nasionalisme komunitas Samin di
Blora misalnya menjadi penanda dari daya lekat antar keduanya. Walau tidak
sedikit orang masih meragukan hal itu.
Tak ayal, ajaran Kiai Samin Surosentiko menjadi fokus pengkajian para peneliti,
baik dari dalam negeri, maupun manca negara. Pada umumnya mereka
menggambarkan bahwa ajaran Kiai Samin merupakan sebuah ajaran yang unik
yang memadukan pandangan-pandangan Kejawen yang merupakan local wisdom
(kearifan lokal) dengan unsur-unsur tertentu dalam Islam, di samping juga
ada anasir-anasir yang bersumber dari Hinduisme dan Budhisme. Ajaran Samin
dipandang merupakan salah satu jenis ajaran Kejawen yang dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari dan mampu membentuk suatu komunitas yang eksklusif,
yaitu sebagai orang Samin atau sering juga disebut sebagai Wong Sikep.6 Hanya
saja, sedikit sekali para peneliti yang menjadikan Islam Abangan dan nasionalisme
komunitas Samin Blora sebagai objek materialnya. Padahal, Islam Abangan,
nasionalisme, dan komunitas Samin Blora merupakan wujud kesatuan ide.
Hingga kini karya Clifford Geertz yang berjudul The Religion of Java, atau
dalam versi Indonesia dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa menjadi buku induk dalam kajian Islam Jawa. Buku Geertz ini sesungguhnya
merupakan ekspos dari hasil risetnya yang dilakukan di Mojokerto pada
bulan Mei 1953 hingga September 1954. Menurut Geertz masyarakat Jawa
diklasifikasikan menjadi tiga varian, yakni abangan, santri, dan priyayi. Namun
demikian, beragam sanggahan, dan penolakan atas ketidaktepatan pengklasifi
kasian ala Clifford Geertz tersebut terus berkembang. Hanya saja, laiknya sebuah
teori pasti ada pro-kontra, dan masing-masing ada pengikutnya.
Di antara kajian yang menolak konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward.
Penelitiannya merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam
Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu
Budha dan Animisme. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama
Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di
Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, ternyata
tidak ditemui unsur tersebut di dalam tradisi keagamaan Islam di Jawa,
padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di
pusat kerajaan, Yogyakarta. Menurutnya Islam dan Jawa adalah compatible dan
merupakan varian wajar dalam Islam sebagaimana Islam India, Islam Persia,
Islam Melayu dan sebagainya.7
Lebih dari itu, Andrew Beatty menyatakan bahwa Geertz dianggap terlalu
berlebihan dalam melukiskan jarak antara ketiga varian santri, priyayi dan
abangan tersebut. Beatty memandangnya sebagai entitas yang saling menyapa.
Jika selametan atau kenduren dalam pandangan Geertz sebagai bentuk ritual
kalangan abangan, Beatty melihatnya justru sebagai ritual bersama, di mana
keragaman berkumpul membentuk harmoni dengan membiarkan masingmasing
kelompok memaknai menurut perspektifnya sendiri.8 Poin terpenting
yang harus diperhatikan dari buku The Religion of Java adalah klasifikasi varian
Jawa ala Geertz tetap dijadikan referensi utama oleh para peneliti dalam
memotret Islam Jawa. Dengan kata lain, buku Geertz ini menjadi bangunan
dasar dalam memahami Islam Jawa di abad ke-20.
2. Nasionalisme
Nasionalisme secara etimologi berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu
paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta
tanah air, memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan
bangsa, memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan
saudara setanah air, sebangsa dan senegara serta menjunjung tinggi nilai persatuan
dan kesatuan.9 Alih kata, nasionalisme dapat diartikan sebagai paham
tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki
oleh warga negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam
tujuan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme adalah jiwa dan semangat yang
membentuk ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal
pengorbanan. Perjuangan nasionalisme adalah untuk melepaskan diri dari
aneka bentuk ikatan dan dominasi kesuasaan sosial dan politik lama, seperti
suku bangsa, raja feodal, dinasti, untuk kemudian menyerahkan kekuasaan
tertingginya pada negara kebangsaan.10
Akar-akar nasionalisme dapat pula diketemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an11
dan dalam kehidupan Nabi Mahammad.12 Hal inilah yang membuat kalangan
Islam nasionalis berani memperjuangkan berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia tanpa mendasarkan diri formalisasi syariat Islam. Kelompok ini
menyatakan bahwa kehidupan spiritual diatur oleh agama sedangkan kehidupan
duniawi diatur oleh logika duniawi. Pemikiran ini seakan-akan mengandung
unsur sekularistik, yaitu adanya pemisahan agama dengan dunia, meskipun
sejatinya hanya pemisahan wilayah. Pemikiran seperti dapat mengalirkan
pemikiran ”Islam politik” ke Islam kultural.13
sumber dari : Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2, November 2016, 379-400
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!