Makalah Meneladani Perjuangan Para Tokoh Proklamasi Achmad
Subardjo
Disusun
Oleh :
Nama :
Rifai Anas Amirul Huda
Nomer Abs : 23
Kelas :
XI.IPS4
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Meneladani Perjuangan Para Tokoh Proklamasi” makalah ini disusun sebagai salah
satu tugas mata pelajaran Sejarah
Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan,
ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun, khususnya dari guru mata pelajaran guna menjadi acuan dalam
bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Blora, 12 Maret,
2017
Penyusun
Rifai Anas
Amirul Huda
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ………………………………………………………………………………………….!
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………….!!
Daftar
Isi…………………………………………………………………………………………………….!!!
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang ……………………………………………………………………………………….1
- Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………….2
- Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………………………2
- Manfaat Penulisan ………………………………………………………………………………….2
5. Metodologi Pembahasan
………………………………………………………………………………….2
BAB II
PEMBAHASAN
1.Perjalanan hidup Achmad Subarjo
……………………………………………………………………..3
2. Peran Achmad Subarjo dalam perjuangan menuju proklamasi Indonesia
……………………………………………………………………..3
3. Tugas-tugas Achmad
Subarjo sebagai Mentri luar negeri pertama
……………………………………………….6
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan ………………………………………………………………………………………….9
- Saran ………………………………………………………………………………………………….9
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………….10
1.Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945
memiliki arti yang sangat penting bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi
kemerdekaan sebagai puncak perjuangan bangsa Indonesia, Proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan NKRI dari
Miangas sampai Rote dan dari Sabang sampai Merauke. Proklamasi Kemerdekaan merupakan
titik tolak dari pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat dan sebagai titik tolak
perubahan dari tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional.Proklamasi 17
Agustus 1945 melibatkan peranan banyak orang. Bahkan bukan hanya bangsa
Indonesia, tetapi sebagian bangsa lain juga bersimpati untuk perjuangan bangsa
Indonesia. Para tokoh memiliki peranan berbeda-beda dalam Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Mereka berperan sesuai dengan kemampuan dan kesempatan
yang harus dilakukan. Sebagai contohnya
adalah Ahmad Soebardjo.
1.1
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat
dita suimpulkan masalah masalahnya :
1. Bagaimanakah perjalanan hidup Achmad Subarjo
2. Apa peran Achmad Subarjo dalam perjuangan menuju
proklamasi Indonesia
3. Apa Tugas-tugas Achmad Subarjo sebagai Mentri luar
negeri pertama
1.2
Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini
adalah untuk mengetahui suri tauladan dari para tokoh proklamasi dan menghargai
perjuangan para pahlawan proklamasi yang membangun Indonesia
1.3.
Manfaat
Adapun manfaat dari menulis karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Mengetahui perjalanan hidup Achmad Subarjo
2. Mengetahui perjuangan Achmad Subarjo dalam proses
menuju kemerdekaan Indonesia
3. Mengetahui Tugas-tugas dan teladan dari Achmad
Subarjo sebagai mentri luar negeri pertama di Indonesia
1.4. Metodologi Pembahasan
Untuk menjawab beberapa permasalahan di atas yang menjadi tujuan
dari penulisan makalah ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan dengan
pendekatan deskriptif untuk mendapatkan kajian yang memadai guna menemukan jawaban
dari rumusan masalah di atas.
II.
Pembahasan
A .Perjalanan
hidup Ahmad Soebarjo :
Menteri
Luar Negeri Pertama R.I. ini, lahir di Teluk Jambe Karawang, sebuah desa di
tepi Sungai Cimanuk (Jawa Barat) pada tanggal 23 Maret 1896. Dari
kakek-buyutnya H. Muhammad Usman seorang pejuang perang Aceh dari Pidie. Ia
meninggalkan Aceh merasa tidak aman hidupnya karena di kejar-kejar oleh aparat
pemerintah kolonial Belanda dan persaingan internal kelompok pejuang. Pada
tahun 1840, Teuku Usman bersama pengikutnya dengan perahu layar sampai di
perairan Indramayu pantai utara pulau jawa. Tatkala mendekat Pantai Indramayu
perahunya dilanda topan hancur berantakan, Teuku Usman bersama pengikutnya
berenang menyelamatkan diri, terdampar di pantai panganjang di tepi sungai
cimanuk, kemudian ia mendirikan pesantren dan menjadi tokoh di desa tersebut,
kemudian ia menikah dengan gadis tersebut dan mempunyai 3 (tiga) orang anak,
anak pertamanya bernama Teuku Saleh, anak kedua bernama Abdul Karim dan seorang
perempuan bernama Cut Aminah. Kakeknya Abdul Karim menikah dengan gadis
Wardinah anak seorang pedagang kayu bernama Haji Husein, sesudah pernikahannya
Teuku Abdul Karim pindah ke kota Indramayu. Disana tidak terlalu lama menetap,
karena masyarakat meminta dia menjadi khatib Masjid Jatibarang. Dalam
perkawinannya Teuku Karim mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu: Teuku Jusuf anak
sulung ayah, Ahmad Subarjo adik-adiknya adalah Ismail, Mujenal, Muchsan dan
Sidua. Teuku Karim meninggal dunia di Jatibarang, sepeninggal Teuku Karim istrinya
pindah ke Indramayu, kemudian ke Teluk Agung yang jaraknya 4 km dari kota
Indramayu. Ketiga anak laki-lakinya dikirim masuk pendidikan pesantren
pengajian, anak perempuan dan bungsunya yang tinggal bersama ibunya, ayah
Subardjo Teuku Jusuf di wilayah Indramayu tersohor sebagai qori pembaca
Al-qur’an karena suaranya yang merdu. Ia seringkali mendapat undangan dari
Husli Wedena (camat) Teluk Agung Indramayu bernama Ahmad yang pernah menjadi
santri disebuah pesantren di Surabaya, berangkat dari santri Ahmad bersekolah
di Negeri Belanda yang mengantarkannya ke kader pamongpraja.
Ahmad
tertaut pada kesalehan Teuku Jusuf dan menjodohkannya dengan putri tunggalnya
Wardinah dari perkawinan pasangan ini lahir 4 (empat) orang anak, anak pertama
perempuannya diberi nama Siti Chadijah, anak kedua Siti Alimah, disusul
Aburakhman dan yang bungsu bernama Abdul Manaf. Nama Abdul Manaf tinggal
menjadi lahir. Atas usul kawan kakeknya nama diganti menjadi Soebardjo yang
berarti “Cemerlang” atau “Gemerlapan”. Nama lamanya Abdul Manaf yang
artinya….., menurut pendapatnya terlalu berat bagi si bayi. Neneknya
menambahkan nama Kakeknya Ahmad, lengkaplah namanya menjadi Ahmad Soebardjo.
Karena
menjadi menantu Pamong Praja, Teuku Yusuf, kemudian menempuh karir ke Pamong
Praja juga. Ketika Soebardjo lahir, Ayahnya telah menjabat Mantri Polisi Pamong
Praja (Sekretaris Kecamatan) Teluk Jambe. Karir ini dimulai dari magang (calon
pegawai). Dengan statusnya sebagai Pejabat Daerah, Teuku Yusuf mempunyai hak
untuk menyekolahkan ank-anaknya ke sekolah Belanda. Di Karawang belum ada
sekolah Belanda. Teuku Jusuf menyekolahkan anak-anaknya ke Batavia. Soebardjo
bersama Kakak-kakaknya terpaksa mandok di Batavia, mereka bersekolah di tiga
sekolah. Europeesche Lagere School-ELS di Kwitang, kemudian pindah ke ELSB di
Pasar Baru, tamat ELS Soebardjo melanjutkan pendidikannya di Prince Hendrik
School (Sekolah Pangeran Hendrik) kemudian pindah ke sekolah Koning William III
(KW III) di Salemba, suatu sekolah almamater para pemimpin Indonesia dan pelbagai
suku bangsa. Di sekolah ini Soebardjo banyak membaca buku. Buku yang yang
paling menyentuh hatinya adalah Max Havelar yang ditulis oleh Douwes Dekker
mantan pejabat Asisten Residen Lebak (Banten). Penulis menggunakan nama samaran
Multatuli. Buku ini berkisah tentang kesewenang-wenangan para penguasa baik
Belanda maupun pribumi terhadap rakyat.
Di
sekolah ini Soebardjo bersahabat dengan Max Maremis. Persahabatan terjalin
karena mereka mempunyai hobby yang sama, musik klasik. Mereka berlatih secara
tekun. Artikel pertama yang menggugah kesadaran politiknya adalah Een
Eereschuld (Hutang Budi) karya Van Deventer. Artikel ini terbit pada 1899,
dalam majalah De Nieuwe Gido. Ia mengetengahkan sebuah gagasan untuk
meningkatkan kesejahteraan pendidikan pribumi agar pribumi dapat dilibatkan
perannya dalam semua bidang pekerjaan baik di lingkungan pemerintah maupun
swasta. Van Deventer megusulkan agar dilaksanakan desentralisasi pemerintah,
dalam rangka membantu kemajuan penduduk. Kesadaran politik dan kebangsaan semakin
berkembang pada tahun 1913 setelah terjadi peristiwa besar. Peristiwa itu
adalah perayaan 100 tahun kebebasan Belanda dari kekuasaan Perancis yang
diadakan secara besar-besaran. Tiba-tiba saja perayaan itu terganggu oleh
selembaran tulisan yang berjudul ”Als ik een Nederland was…” (Seandainya aku
orang Belanda,,) yang ditulis bersama Tiga serangkai anggota Indische Partij,
Suwandi Suryaningrat, Dr Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker.
Soebardjo
menamatkan pendidikan HBS Koning Willem III (KW III) pada tahun 1917. Pada
tahun itu juga Soebardjo bergabung dengan Tri Koro Darmo organsiasi pemuda di
bawah naungan Boedi Utomo. Bersamaan dengan
itu Achmad Soebarjo sangat dipengaruhi oleh pemimpin-pemimpin pergerakan
nasional pada waktu itu, salah satunya yaitu HOS Tjokroaminoto yang sangat mengesankan Soebardjo dengan kata-katanya yang nasionalis, kata-katanya adalah
“
Kita adalah bangsa yang mempunyai harga diri dan bukan bangsa kodok, yang
menongkok ditanah untuk menghormati yang lain, tanpa memandang pangkat atau
pendidikannya”
Seusai
perang Dunia ke-I, Soebardjo melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda,
pelayaran ke negeri Belanda. Beberapa orang sahabatnya menyusul kemudian yaitu
Alex Meramis dan Nasir Datuk Pamontjak. Di negeri Belanda ini ia bertemu dengan
Ibrahim Datuk Tan Malaka. Soebardjo juga bertemu dengan Sneevliet yang menjadi
pemimpin Partai Buruh Belanda, dialah orang yang mendirikan ISDV (Indische
Sosial Demokratisehe Partij), kemudian berkembang menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Pada
tahun 1908 para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mendirikan organisasi
Indische Vereniging sebagai sumbangan dari berdirinya Boedi Oetomo yang
didirikan oleh para siswa STOVIA di Batavia tujuan organisasi ini adalah
mengembangkan semangat kebangsaan Indonesia memajukan kebudayaan dan sejarah.
Terbentuknya perhimpunan ini .
Pada awalnya organisasi ini bertujuan untuk
memajukan kepentingan dan persaudaraan mahasiswa Indonesia yang belajar di
negeri Belanda. Para pendirinya antara lain Raden Panji Sosrokartono mahasiswa
jurusan bahasa-bahasa timur, kakak R.A. Kartini. Tokoh Indische Vereniging
lainnya adalah Raden Mas Notosuroto, mahasiswa Fakultas Hukum, bangsawan
keturunan Paku Alaman. Tokoh lainnya adalah Husein Djajadiningrat, mahasiswa jurusan
bahasa-bahasa Timur, seorang keturunan Bupati Banten, mereka adalah generasi
pelopor. Pada generasi kedua adalah dr. Gunawan Mangunkusumo yang memimpin.
Namun organisasi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I), ketua P.I. dr.
Gunawan bersikap anti cina dan dialah yang mempelopori keluar dari Indonesiche
Verband (gabungan organisasi mahasiswa yang berasal dari indonesia) suatu
organisasi federasi pimpinan P.I. beralih dari dr. Gunawan ke Soebardjo, karena berbagai masalah pelik yang
dihadapi organisasi. Ahmad Soebardjo mengundurkan diri pada tahun 1920 diganti
oleh Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo 1908 yang memimpin P.I. sampai tahun
1921.
Pada tahun 1921 beberapa mahasiswa datang belajar di
negeri Belanda antara lain Muhammad Hatta, Iwa Kusuma Soemantri, Muhammad
Nazif, Darmawan Mangoen Koesoema, P.I. berkembang pesat tatkala dipimpin oleh
para mahasiswa generasi ketiga ini arah politiknya amat jelas, persatuan bangsa
dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Dalam suatu rapat Soekiman (ketua
P.I.) mengusulkan agar Soebardjo memimpin kembali P.I. Ia menolak dan
mengusulkan Mohammad Hatta menjadi ketua P.I. sidang sepakat Mohammad Hatta
dipilih sebagai ketua P.I. yang dijabatnya selama enam tahun (1925-1931).
Kembali ke Tanah
Air.
Setelah tujuh tahun belajar dan berjuang dalam
organisasi P.I. di negeri Belanda, pada bulan April 1934 kembali ke tanah air.
Sebagai seorang yang pernah sebagai aktivitas Perhimpunan Indonesia (P.I.) hati
nuraninya Achmad Soebarjo menolak
bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, padahal lowongan untuk jabatan di
pemerintahan sangat terbuka bagi seseorang yang berpendidikan tinggi. Akhirnya
ia memilih bekerja swasta di Kantor Bantuan Hukum Mr. Sastro Muljono, seniornya
di Semarang, banyak juga mantan anggota P.I. yang bekerja di pemerintahan,
antara lain Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Dr. Akhmad Mochtar dari Semarang
Soebardjo pindah ke Surabaya juga dikantor Bantuan Hukum Mr. Iskaq (Tjokro
Hadisoerjo). Pada tahun tiga puluhan itu Soebardjo menyaksikan surutnya
perjuangan pergerakan nasional. Para tokohnya, Ir. Soekarno, Sartono, Muhammad
Hatta saling berbeda pendapat mengenai strategi perjuangan sekalipun mereka
mempunyai dasar yang sama: Non Kooperasi.
B. Achmad Subarjo dalam perjuangan menuju proklamasi
Indonesia
Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda berakhir untuk
selama-lamanya setelah menyerah tanpa syarat di Kalijati, Sabang pada tanggal 8
Maret 1942. Pasukan Jepang memasuki Jakarta dengan parade kemenangan yang
disambut penduduk sebagai pembebas. Beberapa waktu kemudian Soebardjo bertemu
dengan Soedjono. Ia meminta agar Soebardjo menyusun memorandum singkat sebagai
petunjuk hubungannya dengan Sanseikanbu (Pemerintahan Militer Jepang) Kepada
Kolonel Miyoshi. Sementara itu Soebardjo ditawari bekerja pada kantor penasehat
Hatta. Tidak lama kantor ini bubar setelah terbentunya Poetera (Poesat Tenaga
Rakyat. Setelah Kantor Penasehat Hatta dibubarkan, ada dua orang Jepang Ishii
dan Nishijima datang ke rumah Soebardjo. Dua orang Jepang itu ternyata dari
kantor Penghubung Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) dibawah pimpinan Laksamana
Muda Maeda, Tadashi. Mereka meminta Soebardjo melakukan penelitian tentang
masalah bahan makanan, untuk kepentingan perang dan
hubungannya dengan reaksi petani. Tawaran ini diterima oleh Soebardjo,
kantornya di Jl. Prapatan 60. Ia diberi kebebasan untuk memilih
pembantu-pembantunya. Beberapa orang yang dipilih adalah Embah Soediro, sebagai
sekretaris, Etty Abdurachman, kemenakan Soebardjo, Ahmad Soerjo saudara sepupu
istrinya, Tasti Kusumo Utojo, Mr. Suwandi, saudara sepupu Paku Alam dan BRM
Suryodarmojo, Putera Paku Buwono XI. Tugas untuk Soebardjo pada dasarnya adalah
pengumpulan data dan sejarah pergerakan nasional yang meliputi konsep nasionalisme,
sikap bangsa Indonesia terhadap kelompok Rasial. Dari tugas ini hubungan pribadi
Soebardjo dengan Laksamana Maeda menjadi akrab.
Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan
Sesuai
dengan janji Koiso, pada bulan Maret 1945 Jepang membentuk BPUPKI yang bertugas
menyusun rancangan Konstitusi negara Indonesia yang akan merdeka. Hampir semua
tokoh pergerakan diangkat sebagai anggotanya. Jumlahnya 61 orang, yang dipimpin
oleh dr Rajiman Wedyodiningrat. Soebardjo termasuk yang dipilih dengan nomor
urut 42. Soebardjo menjelaskan bahwa Soekarno berjasa meletakkan dasar
pandangan hidup atau filosofi rakyat
Indonesia mengenai kehidupan dan dunia, yang terumus dalam sila-sila Pancasila.
Kemudian diperdaulatkan, teori apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia.
Ada tiga teori yaitu teori individualis, teori klas, teori negara kesatuan.
Setelah masing-masing melakukan curah pendapat dan tukar pendapat, Soekarno
membentuk kelompok sembilan orang yang disebut panitia-9. Soebardjo mengusung
gagasan Kongres menentang Imperialisme di Brussel pada bulan Februari 1927
yakni Imperialisme dan kolonialisme hendaklah dihapuskan. Ada gagasan lain
yaitu tentang menentukan nasib sendiri yang mengdopsi gagasan Presiden Amerika
Serikat Woodrow Wilson pada tahun 1917. Dan sublimasi gagasan itu lahirlah
paragraf 1 dari rancangan pembukaannya. Panitia 9 menurut Soebardjo menghadapi
kesulitan ketika mencari kompromi antara ideologi nasionalis dan konsepsi Islam
mengenai negara dan masyarakat. Pada sidang kedua panitia 9 yang berlangsung
selama satu minggu (tanggal 10-17 Juli 1945) menghasilkan keputusan:
1. Menolak teori-teori individualis, didasarkan atas pertimbangan, teori tersebut bisa menciptakan penindasan seseorang terhadap orang lain, termasuk menciptakan politik ekspancionis, militer, ekonomi.
2. Menolak teori Karl Marx, Engels dan Lenin yang bertentangan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia.
3. Menolak terhadap suatu bentuk negara Islam bagi Indonesia karena tidak memisahkan antara negara dan agama, sekalipun mayoritas rakyat indonesia memeluk agama Islam, pemeluk agama yang merupakan minoritas tidak akan merasa sebagai warga negara kelas dua. Toleransi beragama berdasarkan falsafah hidup bangsa, (Pancasila) merupakan satu-satunya saluran kearah tercapainya suatu kehidupan yang saling berdampingan secara damai.
1. Menolak teori-teori individualis, didasarkan atas pertimbangan, teori tersebut bisa menciptakan penindasan seseorang terhadap orang lain, termasuk menciptakan politik ekspancionis, militer, ekonomi.
2. Menolak teori Karl Marx, Engels dan Lenin yang bertentangan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia.
3. Menolak terhadap suatu bentuk negara Islam bagi Indonesia karena tidak memisahkan antara negara dan agama, sekalipun mayoritas rakyat indonesia memeluk agama Islam, pemeluk agama yang merupakan minoritas tidak akan merasa sebagai warga negara kelas dua. Toleransi beragama berdasarkan falsafah hidup bangsa, (Pancasila) merupakan satu-satunya saluran kearah tercapainya suatu kehidupan yang saling berdampingan secara damai.
Pada akhirnya Teori Adam
Muller, Hegel (Abad 18-19)yang dipilih.
Teori yang mengemukakan Teori Negara Kesatuan.
Menurut teori ini negara tidak semata-mata menjamin kepentingan individu, kelas
atau kelompok, bagaimanapun kuatnya kelompok itu. Tetapi negara memberikan
jaminan atas kepentingan masyarakat secara keseluruhan sebagai satu kesatuan,
struktur sosial dan negara disatukan, seluruh kelas, bagian-bagian serta semua
anggota masyarakat secara erat dirangkaikan sebagai satu kesatuan yang organik.
Soebardjo menyatakan bahwa tokoh kunci teori ini adalah Prof. Dr. Mr. Supomo
dan Mr. Muhammad Yamin,
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan.
Pada
tanggal 15 Agustus 1945, Soebardjo bersama sejumlah tokoh dan penduduk Jakarta
menyambut kedatangan Dr. Radjiman, Soekarno-Hatta, di Bandar Udara
Kemayoran. Masih ada
tiga orang lagi yaitu Mr.Teuku Moh. Hassan, Dr. Amir, dan Mr. Abas, yang ikut
serta dalam rombongan Rajiman. Mereka adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), yang mewakili Sumatera.
Setelah turun dari pesawat, Soekarno memberikan
pidato singkat,
“Jika beberapa waktu yang lalu saya menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah, sekarang saya menyatakan kepada kamu bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman tersebut berbunga”.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 di Jakarta terdengar desas-desus bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Soekarno dan Hatta berusaha untuk mencari kebenaran desas-desus itu, mendatangi Sunseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer). Tidak bertemu Pejabat Jepang yang dimaksud Jenderal Yamamoto Moichiro, Mereka datang ke Kantor Soebardjo dengan harapan memperoleh informasi dari Soebardjo. Soebardjo mengusulkan agar mereka dapat konfirmasi dari Laksamana Maeda. Soekarno, Hatta, Soebardjo datang menemui Maeda. Jawaban Maeda tidak tegas, tidak membantah, dan tidak membenarkan desas-desus tersebut. Mereka meninggalkan kantor Maeda pada sore hari tanpa hasil.
“Jika beberapa waktu yang lalu saya menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah, sekarang saya menyatakan kepada kamu bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman tersebut berbunga”.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 di Jakarta terdengar desas-desus bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Soekarno dan Hatta berusaha untuk mencari kebenaran desas-desus itu, mendatangi Sunseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer). Tidak bertemu Pejabat Jepang yang dimaksud Jenderal Yamamoto Moichiro, Mereka datang ke Kantor Soebardjo dengan harapan memperoleh informasi dari Soebardjo. Soebardjo mengusulkan agar mereka dapat konfirmasi dari Laksamana Maeda. Soekarno, Hatta, Soebardjo datang menemui Maeda. Jawaban Maeda tidak tegas, tidak membantah, dan tidak membenarkan desas-desus tersebut. Mereka meninggalkan kantor Maeda pada sore hari tanpa hasil.
Soebardjo kemudian mengajak Hatta untuk menemui
Soekarno pada malam itu. Mereka diterima Soekarno pukul 11.00 malam (23.00). Ia
duduk dikelilingi oleh sejumlah pemuda antara lain Wikana, suasana mereda
setelah kami datang tulis Soebardjo. Para pemuda menginginkan agar kemerdekaan
Indonesia di proklamasikan pada malam itu juga dengan nada mengancam. Soekarno
menolak, karena harus di bicarakan dulu dalam siding PPKI. Ancaman Wikana
dijawab oleh Soekarno. “Ini batang leher ku, seretlah saya kepojok itu dan
potonglah leherku malam ini juga!.” Wikana mundur.
Kemudian Hatta memperingati Wikana antara lain:
”jika sodara tidak setuju apa yang saya katakan dan mengira sodara telah siap
dan sanggup memproklamasikan, mengapa sodara tidak memproklamasikan kemerdekaan
itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan itu? Wikana terdiam,
drama menjelang proklamasi itulah yang disaksikan oleh Soebardjo. Seusai
menyaksikan drama proklamasi tersebut Soebardjo dan Hatta meninggalkan rumah
Soekarno, waktu telah menunjukan waktu malam.
Rengasdengklok
Pada hari ini pukul 08.00, Soebardjo menerima
laporan dari sekretarisnya Embah Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh
para pemuda dan tidak tahu dibawa kemana, menambahkan, setelah para pemuda
mengadakan rapat dikantor Soebardjo dan Wikana ada diantara mereka. Soebardjo
kaget, peristiwa ini dinilai gawat, karena pada pukul 10.00 akan
diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa ketua dan wakil ketua tidak mungkin rapat
terselenggara. Ia menduga bahwa Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta.
Soebardjo kemudian memerintahkan sekretarisnya, agar
memanggil Wikana, terjadi dialog, “Apa yang telah kamu perbuat terhadap
Soekarno dan hatta?” Tanya Soebardjo. “Itu keputusan kami dalam pertemuan
semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu tempat di luar
Jakarta” jawab Wikana. Apakah akibat dari tindakan tersebut sudah kamu
putuskan? Tanya Soebardjo. ”Keputusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi
merupakan keputusan semua golongan pemuda, tugas saya membujuk Soekarno untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin.” Jawab Wikana. Soebardjo
menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-Hatta. Wikana
tidak menjawab, kemudian pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna, maksudnya
untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana Soekarno-Hatta
disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda kepada Wikana.
Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi Kemerdekaan harus
dilakukan dengan damai, yang akibatnya merugikan perjuangan kita. Wikana dan
Pandu keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30, Nishijima,
Shigetada datang dan rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa Angkatan Laut
akan mendukung Proklamasi Kemerdekaan.
Pada kira-kira pukul 16.00, dengan mobil Skoda
Soebardjo, Jusuf Kunto, Soediro kearah Jatinegara terus kearah Timur.. Jusuf
Kunto mohon diri meninggalkan Soebardjo, melapor kepada Soekarni. Dengan
mengenakan seragam PETA, Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi dialog
singkat, Soekarni menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukan prakarsa
pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi. Soebardjo dan Soedira mengikuti
Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA Rengasdengklok, Cundonco Subeno.
Untuk meyakinkan niat dan itikad kedatangan Soebardjo ke Rengasdengklok bukan
untuk kepentingan Jepang. Soebardjo di interogasi dengan sejumlah pertanyaan.
Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo menjaminkan dirinya untuk siap ditembak.
Seusai acara interogasi ini Soebardjo diantar ke sebuah rumah dipertemukan
dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala melihat Soebardjo,
Soekarno terperanjat langsung bertanya apakah Jepang sudah menyerah? Soebardjo
memberitahu bahwa ia mendapat informasi penting ini dari Laksamana Maeda.
Kemudian diputuskan untuk segera kembali di Jakarta. Dengan tiga buah mobil
mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta pada pukul 21.00.
Perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir disergap oleh
tentara Jepang. Tiba dirumah Soekarno pada pukul 21.00 dilanjutkan ke rumah
Hatta. Sesudah istirahat beberapa saat, Soekarno, Hatta dan Soebardjo tiba di
rumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan terima kasih
atas penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat pertemuan.
Mempersiapkan Proklamasi
Di rumah Maeda ternyata sudah banyak orang berkumpul
sebelum rombongan dari Rengasdengklok memasuki rumah ini. Soekarno dan Hatta
bersama Maeda meninggalkan rumah. Pada kurang lebih pukul 02.00, Soekarno,
Hatta dan Maeda tiba kembali bersama Kolonel Miyoshi, Perwira penghubung
Angkatan Darat yang mantan Diplomat, kemudian mereka berunding. Soekarno,
Hatta, Miyoshi, Soebardjo, Maeda, Nishijima menghadap meja bundar, di
belakangnya duduk Soediro, Soekarni, dan B.M. Diah, baru kemudian Soebardjo
memperoleh informasi dari Hatta bahwa mereka datang ke Gunseikon (Kepala
Pemerintah Jepang) Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro, dan Mayor Jenderal
Nishimura, Otoshi, samubuco (Kepala Bagian Pemerintahan Umum) tanpa hasil.
Nishimura berpegang teguh pada prinsip status quo. Tidak ada boleh kegiatan
politik sesudah tanggal 15 Agustus 1945.
Dari pertemuan meja bundar di rumah Maeda ini
diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan tanpa
persetujuan Angkatan Darat Jepang. Kemudian Maeda, Nishijima, dan Miyoshi
tempat. Ketika Soekarno, Hatta, Soebardjo akan menyusun redaksi (teks)
Proklamasi,. Soekarno mengambil secarik kertas, menulis sesuai dengan yang saya
(Soebardjo) ucapkan. “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan”.
Soekarno kemudian menambahkan :”Hal-hal yang mengenai pemindahan dan lain-lain
akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Menurut Soebardjo inilah teks awal, rupanya Soekarno
tidak menuliskan rakyat, tetapi Bangsa. Mula-mula Soekarni yang diminta untuk
mengetiknya, Ia kemudian pergi ke dekat Dapur. Sayuti Melik dan beberapa orang
lain sedang duduk-duduk. Dia diminta oleh Soekarni untuk mengetiknya yang
kebetulan di ruangan itu ada sebuah mesin ketik. Seusai diketik teks ketikan
diserahkan kepada Soekarni selanjutnya diserahkan kepada Soebardjo, Kemudian
diterima oleh Soekarno. Dr. Radjiman, Prof. Supomo, Dr. Ratulangi, Mr.
Latuharhary, Dr. Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri. Di antara para pemuda, B.M.
Diah, Adam Malik, Mando Nitimhardjo, Pandu Kartawiguna. Soekarno didampingi
oleh Hatta membacakan Teks Proklamasi. Soekarni yang telah membaca sebelumnya
mengkritik sebagai teks lepas dari semangat revolusioner, lemah, tidak
mempunyai kepercayaan diri, ia tidak setuju dengan kalimat kedua, karena ia
tidak percaya bahwa Jepang akan menyerahkan kekuasaannya kepada kita dengan
cara sukarela kita harus merebutnya dari tangan mereka, terjadi perdebatan
setelah penilaian Soekarni.
Para anggota PPKI menentang perubahan teks. Soekarno
menawarkan siapa yang membubuhkan tandatangannya pada teks, mereka sepakat yang
menandatangani teks Soekano dan Hatta, diusulkan dibacakan di lapangan Ikada.
Soekarno menolak pembacaan teks Proklamasi akan dilakukan di rumahnya Jl.
Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10.00. Subardjo merasa bahwa tugasnya telah
selesai, setelah dua hari diliputi suasana tegang. Ia tidak hadir dalam upacara
tatkala Soekarno yang didampingi Hatta mengucapkan Proklamasi kemerdekaan
bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.
c. Tugas-tugas Achmad Subarjo sebagai Mentri luar
negeri pertama :
Hari-hari sesudah Proklamasi diliputi kesibukkan
yang luar biasa pada tanggal 18 Agustus 1945, para anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia berkumpul di Pejombon, mereka mewakili rakyat Indonesia
mengesahkan Undang-undang yang telah diselesaikan oleh Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden. Pada hari berikutnya PPKI bersidang kembali, Presiden
Soekarno menunjuk Soebardjo sebagai ketua panitia kecil, yang beranggota 2 (dua)
orang Soebardjo Kartohadikusumo, Alex Andries Maramis . Tugas panitia kecil
adalah merumuskan organisasi pemerintah pusat. Hasil rumusan itu panitia kecil
menyampaikan saran agar pemerintah pusat dibagi atas 10 Departemen, setelah
dibahas pada sidang Pleno diterima oleh Presiden. Soebardjo pada sidang itu
mengusulkan tambahan enam orang Menteri Negara, berhubung Negara dalam situasi
Revolusioner. Tugas Menteri Negara bersifat khusus, dapat bergerak cepat
apabila ada situasi darurat, mereka dapat diutus oleh pemerintah pusat ke
daerah-daerah, usul ini diterima oleh presiden, namun yang diangkat hanya lima
orang, setelah sidang presiden membentuk kabinet. Pemerintah RI yang pertama
ini terdiri atas 18 Menteri, 13 Menteri pemimpin departemen dan 5 Menteri Negara.
Soebardjo ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri.
Tugas pertama Menteri Luar Negeri adalah membangun
kementerian, karena sebelumnya tidak ada seorang Indonesia pun pernah bekerja
di Kementerian ini. Gedung Kementerian harus dicari, rumah tempat tinggal
pribadi keluarga Soebardjo dijadikan Kantor Kementerian, tidak ada pilihan
lain. Selanjutnya adalah merumuskan dasar-dasar politik luar negeri suatu
negara yang merdeka dan berdaulat. Soebardjo mengantisipasi akan hadirnya
tentara sekutu di Indonesia. Oleh karena itu baik presiden, wakil presiden, dan
menteri luar negeri terus menerus berkampanye bahwa Republik Indonesia adalah
Negara demokrasi dan mentaati semua hukum hubungan Internasional. Atlantic Charter,
Diagram PBB diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia disebarkan ke seluruh
jajaran pemerintah. Tujuan utama adalah bagaimana lahirnya dan eksistensi
Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh dunia Internasional.
Kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda sudah berakhir sejak bulan Maret 1942 dan
pemerintah militer Jepang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Di samping
pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia, Bangsa Indonesia telah bertekad
mempertahankan Kemerdekaan dan Kehormatannya dengan cara apapun. Tekad bangsa
ini berhasil, tatkala tentara sekutu akan masuk ke Indonesia untuk melaksanakan
tugasnya berdasarkan protokol Dotsdam, terlebih dulu mengakui secara de facto
Negara Republik Indonesia dan memberitahu Kementerian Luar Negeri rencana
kedatangannya. Peristiwa bisa dianggap sebagai sukses pertama dari kampanye
Kementerian Luar Negeri.
III.
Penutup :
Ahmad Subardjo
memainkan peranan penting menjelang Proklamasi Kemerdekaan, bersama Bung Karno
dan Bung Hatta merumuskan teks proklamasi, anggota Badan Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dan sering menjembatani pertentangan antara kelompok pemuda dan
kelompok tua. Tapi sebetulnya perjuangan Ahmad Subardjo telah dimulainya sejak
ia menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Leiden tahun 1919.
Dalam
Tulisnya tentang 17 Agustus 1945: (Saya masih tidur
sewaktu kurang lebih pukul 10.00 pagi pada tanggal I7 Agustus datang dua utusan
dari Soekarno dan Hatta untuk membangunkan saya. Mereka mengatakan saya harus
segera berpakaian untuk menyaksikan upacara pengibaran bendera nasional sang
Merah Putih dan Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan. Saya merasa begitu lelah dari
kejadian yang menegangkan syaraf yang baru saya alami sepanjang hari dan malam
sebelumnya, sehingga saya memutuskan untuk meneruskan istirahat saja. Apalagi
yang aya ingini Mimpi Indonesia Merdeka telah menjadi kenyataan. Apa bedanya
saya hadir dan tidak? Hal yang paling penting adalah bahwa kita sendiri dan
generasi berikutnya dari rakyat saya telah menjadi warganegara yang bebas dari
sebuah Negara Merdeka: REPUBLIK INDONESIA. Saya mengirim sebuah pesan kepada
Bung Karno dan Bung Hatta meminta mereka untuk memaafkan ketidak hadiran saya
dan supaya mereka segera saja memulai upacara Proklamasi Kemerdekaan. Subardjo
tidak sempat menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan yang bersejarah itu. Tapi
namanya akan tetap tercatat dalam sejarah Indonesia, mungkin sebagai tokoh
kontroversil. Ia pernah dianggap sebagai “kolaborator Jepang” karena peranannya
sebagai Kepala Biro Riset di Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di
Indonesia antara 1943-1945. Pernah juga ia dianggap “pro Amerika” ketika ia
menyetujui Mutual Security Act (MSA) yang menyebabkan kejatuhannya sebagai
Menlu (1952). Tokoh-tokoh sejarah Indonesia ternyata memang tidak luput dari
pertentangan, mungkin juga kesalahan. Tapi perkembangan menunjukkan bahwa
kekeliruan dan perbedaan bersifat nisbi. Pada aknirnya, seperti Subardjo, semua
diterima sebagai bakti.
Dari
perjuangan yang disemarakkan oleh Achmad Soebarjo tersebut kita sebagai
generasi bangsa bisa mengambil beberapa teladan dari Beliau diantaranya sebagai
berikut :
1. Tanggung jawab
2. Adil dan Bijaksana
3. Semangat Patriotisme/Nasionalisme yang tinggi
4, Rela menolong tanpa pamrih
5. Orang yang sederhana dan tidak sombong
6. Cinta terhadap Tanah Air Indonesia
Secara
keseluruhan pernana Achmad Soebarjo dalam kemerdekaan Indonesia dapat dirangkum
sebagai berikut :
Peranan Ahmad Subarjo dalam kemerdekaan Republik Indonesia
1. Berjuang melawan penjajah dengan sikap anti penjajahnya
2. Berani baertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya demi kelangsungan
kemerdekaan Republik Indonesia dalam peristiwa rengasdengklok
3. Membantu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta merumuskan dasar negara.
4. Membantu urusan pemerintahan dalam kemerdekaan RI
5. Membantu menyelesaikan konflik antara golongan tua dan muda dalam
kelangsungan Kemerdekaan
6. Mengisi
pemerintahan sebagai menteri pada kabinet Ir. Soekarno
Ahmad
Subardjo meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1978 dan dimakamkan di
pemakaman keluarga di Cibogo. la menerima tanda penghargaan :
a. Order of Merit dari Pemerintah Mesir, 1954
b. Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, 1961
c. Bintang Mahaputra Adipradana, 1973
d. Bintang Republik Indonesia Utama., 1992
Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 058/TK/Tahun 2009 tanggal 6 November 2009.
a. Order of Merit dari Pemerintah Mesir, 1954
b. Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, 1961
c. Bintang Mahaputra Adipradana, 1973
d. Bintang Republik Indonesia Utama., 1992
Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 058/TK/Tahun 2009 tanggal 6 November 2009.
Saran
Kita hendaknya sebagai generasi penerus bangsa harus
mengetahui erjalanan dan jerih payah
para tokoh kemerdekaan yang pontang-panting unuk mencapai satu kata, yaitu
merdeka.Kita juga sebagai generasi penerus bangsa harus menyadari bahwa dasar
negara kita dicetuskan oleh para tokoh dengan berbagai pertimbangan kultur
masyarakat Indonesia yang dimana dapat menangpung seluruh masyarakat Indonesia
yang pluralis itu. Maka dari itu kita harus menjaga agar NKRI kita ini utuh dan
menolak paham-paham yang berusaha mengubah falsafah bangsa Indonesia ini, entah
paham komunis, liberalis, sosialis, bahkan agamis yang baru-baru ini mencuat.
IV.Daftar Pustaka
PT TEMPO Inti Media. Bersama Bung Hatta. Jakarta. Majalah TEMPO. 08/05 1975-04-26
Sebuah kisah. “Ahmad subardjo (1896-1978)” . 12 Maret 2017.http://s-kisah.blogspot.co.id/2012/04/ahmad-subardjo-1896-1978.html
Publisher, Redaksi Great. 2009. Buku Pintar Politik - Sejarah Pemerintahan Dan Ketatanegaraan. Yogyakarta; PT. Galangpress Media Utama.
Bahsan, Omar. 1955 . jatatan Ringkas Tentang : PETA (Pembela Tanah Air) dan Peristiwa Rengasdengklok. Bandung: N. V. Melati
Djoyoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978. Kesadaran Nasional: Otobiografi Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo. Jakarta: Gunung agung.
Imam Fahrul
Islam, Melati Sasabila, Milani Indah
Kusumaningsih, Riska
Ayu Wardani.2016. TOKOH PROKLAMASI –
ACHMAD SOEBARDJO. Diakses
melalui https://www.academia.edu/24524030/Achmad_Soebardjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!