Selasa, 19 April 2016

Belajar dari Kisah Buta warna terhadap karier hidup

Belajar dari Kisah Buta warna terhadap karier hidup


Ada seorang siswa bernama A ( inisial)
A adalah anak muda yang cukup berprestasi. Di sekolahnya, sejak SD hingga SMA ia tak pernah jatuh dari peringkat 2 . Ia mempunyai cita-cita yang cukup tinggi, menjadi seorang ilmuwan sains. Sesuatu yang wajar dan cocok untuknya, mengingat di sekolahnya ia cukup menonjol dalam bidang ilmu eksakta.
Biarpun demikian, ia juga mempunyai alternatif cita-cita yang lain seandainya cita-citanya menjadi ilmuwan itu gagal. Ia menyadari betul bahwa dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menjadi seorang ilmuwan seperti yang diimpikannya, sementara keadaan ekonomi keluarganya bisa dibilang pas-pasan saja.
Prinsipnya jelas, ia menggandrungi sains tapi tak ingin terlalu memberatkan ayahnya yang hanya seorang pamong desa. Sekolah Tinggi Kedinasan!  Itu altenatif terbaik menurutnya. Sekolah kedinasan disamping menggratiskan mahasiswanya dari semua biaya kuliah, juga memberinya garansi pekerjaan yang jelas dan pasti ketika ia lulus kelak, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebuah pekerjaan yang masih menjadi idaman oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Setelah ia lulus SMA dan kebetulan menjadi lulusan terbaik di sekolahnya, ia berusaha melanjutkan cita-citanya itu. Ia harus kuliah, di sebuah jurusan sains atau di sebuah sekolah tinggi kedinasan. Semuanya mesti dilalui dengan seleksi/ujian.
Ada satu alternatif perguruan tinggi umum yang dipilihnya: Universitas Diponegoro dengan jurusan Teknik Kimia (favoritnya), serta ada dua alternatif sekolah tinggi kedinasan: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS/di bawah Badan Pusat Statistik) dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan spesialisasi pada bidang Kepabeanan dan Cukai (STAN/di bawah Kementerian Keuangan). A mencoba peruntungannya dengan mendaftar ketiga-tiganya dengan harapan utama ia akan diterima di STAN. Pertimbangan utamanya adalah di STAN gratis, berada di bawah kementerian besar, serta mengingat kemampuan orang tuanya yang kemungkinan agak berat untuk membiayai cita-citanya menjadi seorang ilmuwan. Disamping juga ia sedikit tertarik dengan ilmu kepabeanan daripada beberapa alternatif sekolah kedinasan yang lain.
Ujian demi ujian telah dilaluinya. Ia dinyatakan lulus di semua perguruan/sekolah tinggi yang didaftarnya. Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara siap menerimanya pada jurusan/spesialisasi masing-masing.
Akan tetapi, sebagaimana prosedur baku pada penerimaan mahasiswa baru pada umumnya, ujian/seleksi belumlah lengkap tanpa adanya tes kesehatan. Dari segi kesehatan, ada beberapa persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh calon mahasiswa baru. Disini masalah itu muncul pada A.
Dari tes kesehatan yang dilakukan oleh tiga perguruan/sekolah tinggi itu, A dinyatakan buta warna. Padahal, semua perguruan/sekolah tinggi dengan jurusan yang ditujunya itu mensyaratkan bahwa mahasiswa baru tidak boleh buta warna.
A pun kaget dengan kenyataan ini. Ia tidak menyadari bahwa selama ini dirinya memiliki kekurangan pada matanya. Ia buta warna parsial. Bisa dipastikan A akhirnya gagal diterima di perguruan/sekolah tinggi yang diharapkannya itu. Ini berarti cita-citanya sejak kecil pun bisa dikatakan menguap begitu saja.
A pun bersedih, hampir-hampir ia frustasi karena tidak bisa menerima kenyataan ini.
Dari Kisah tersebutSebuah kisah yang patut menjadi bahan pelajaran bagi siapapun.
Buta warna, banyak orang yang kurang memahaminya. Orang-orang awam beranggapan bahwa buta warna berarti tidak mampu membedakan semua warna. Orang-orang yang buta warna berarti hanya bisa melihat hitam dan putih, ia tidak bisa melihat warna-warna lain yang banyak jumlahnya. Begitulah anggapan sebagian orang, termasuk juga A dalam kisah di atas.
Secara umum, A memang bisa membedakan berbagai macam warna, meskipun itu tidak berlaku untuk semuanya. Akan tetapi, jika warna-warna ini digabung sedemikian rupa, terbukti A tidak/kurang mampu membedakannya. Ia tidak menyadari keterbatasannya itu. Itu lah yang membuatnya kaget ketika dokter penguji menyatakan bahwa ia buta warna dan tidak bisa belajar di tempat yang diidamkannya, yang berarti seperti menjadi pupus saja cita-cita dan harapannya.
Buta warna adalah keadaan dimana seseorang tidak mampu membedakan warna. Ada dua jenis buta warna, yaitu buta warna total dan buta warna parsial. Pada buta warna total berarti seseorang sama sekali tidak bisa membedakan warna. Objek apapun, yang dilihatnya hanyalah hitam dan putih. Sementara dalam buta warna parsial, seseorang tidak bisa membedakan warna-warna tertentu saja.
Sebagian besar buta warna parsial adalah buta warna merah-hijau, dalam artian seseorang yang mengalami buta warna parsial umumnya kesulitan untuk membedakan warna merah-hijau.
Dalam istilah yang lebih umum dikenal, semua buta warna, baik itu total maupun parsial sama-sama disebut dengan istilah “buta warna” saja. Dengan demikian, ketika ada penyebutan “tidak buta warna” dalam sebuah persyaratan pendaftaran tertentu, maka secara otomatis itu juga berlaku untuk buta warna parsial.  Orang-orang yang mengalami buta warna parsial umumnya tidak akan diterima karena tidak memenuhi syarat pendaftaran ini.
Buta warna terjadi karena sel-sel kerucut tidak mampu merespon warna sebagaimana mestinya. Sel-sel kerucut pada retina mengalami pelemahan atau kerusakan permanen.
Penyebab buta warna bisa terjadi karena suatu penyakit tertentu baik itu dalam mata sendiri maupun penyakit lain yang mempengaruhi kemampuan pengindraan mata. Akan tetapi, sebagian besar buta warna terjadi karena keturunan/genetik. Buta warna yang terjadi secara genetik tidak bisa disembuhkan, sementara buta warna yang terjadi karena suatu penyakit bisa disembuhkan dengan terlebih dahulu mengetahui penyakit kemudian menyembuhkan penyakit itu. Tulisan ini lebih berfokus pada buta warna karena keturunan/genetik.
Buta warna yang terjadi karena keturunan/genetik lebih banyak dialami laki-laki. Dalam suatu penelitian, 1 dari 12 orang laki-laki mengalami buta warna, sementara 1 dari 200 orang perempuan mengalami buta warna.
Buta warna karena keturunan terjadi secara criss cross inheritance (penurunan silang), yaitu seorang ayah yang buta warna akan menurunkan sifat buta warnanya itu kepada anak perempuannya, sementara ibu yang memiliki sifat buta warna akan menurunkan sifat buta warnanya kepada anak laki-lakinya.
Sebagaimana diketahui, kromosom seorang perempuan adalah XX, sedang seorang laki-laki adalah XY. Gen buta warna termasuk gen resesif, artinya tidak akan tampak jika bertemu dengan gen normal yang sifatnya dominan.
Gen buta warna selalu terpaut pada kromosom X, akibatnya, terkait buta warna, seorang perempuan mempunyai tiga kemungkinan: normal dan tidak menurunkan sifat buta warna untuk semua anaknya, normal tapi mampu menurunkan sifat buta warna pada anak laki-lakinya, serta kemungkinan ketiga ia mengalami buta warna dan menurunkannya kepada anak laki-lakinya. Seorang perempuan yang buta warna bisa dipastikan akan memiliki anak laki-laki yang buta warna.
Sementara seorang laki-laki hanya ada dua kemungkinan, yaitu normal dan tidak menurunkan sifat buta warna kepada anak-anaknya, atau kemungkinan kedua ia mengalami buta warna dan menurunkan sifat buta warnanya kepada anak perempuannya.
Profesi/pekerjaan yang umumnya mensyaratkan tidak buta warna
Cukup banyak lingkup pekerjaan yang umumnya mensyaratkan untuk tidak buta warna. Pekerjaan itu antara lain dokter, apoteker, tentara, polisi, ahli kimia, ahli IT, desainer, petugas kepabeanan, serta pekerjaan-pekerjaan lain yang dianggap berkait dengan penggunaan warna. Hal ini berarti lingkup pekerjaan seorang yang mengalami buta warna bisa dikatakan tidak sefleksibel orang-orang normal pada umumnya.
Implikasi dari pembatasan ini diturunkan hingga level perguruan tinggi. Sebagaimana diketahui, pendidikan di perguruan tinggi pada akhirnya bertujuan untuk mendidik mahasiswa dengan suatu keahlian tertentu dan untuk pekerjaan tertentu. Ketika pekerjaan tertentu mensyaratkan tidak buta warna, maka wajar jika perguruan tinggi pun mensyaratkan demikian untuk jurusan-jurusan yang terkait dengan keahlian/pekerjaan/profesi itu.

Belajar dari pengalaman A
Pengalaman adalah guru terbaik, begitu kata pepatah zaman dulu yang terus relevan hingga kapanpun. Belajar dari pengalaman tidak harus dari pengalaman diri sendiri tapi bisa juga dari pengalaman orang lain. Semua orang bisa belajar dari pengalaman A di atas.
Sejak awal, A tidak menyadari keterbatasan penglihatan matanya. Ini pengalaman penting yang bisa menjadi pelajaran bagi siapapun. Karena tidak menyadari keterbatasannya itu, A mencita-citakan diri untuk menjadi apa yang diinginkannya sebagaimana kisah di atas. Ia mendaftar di tiga perguruan/sekolah tinggi. Dari segi kemampuan akademis ia memenuhi persyaratan, tapi dari segi kemampuan fisik (dalam hal ini mata) ia dinyatakan tidak memenuhi persyaratan. Andai saja sejak lama A menyadari keterbatasannya itu, sudah barang tentu A tidak akan bercita-cita dan mendaftar di tiga perguruan/sekolah tinggi dengan jurusan-jurusan itu. Andai saja dia sudah siap dengan keterbatasannya, ia dapat memilih cita-cita serta mendaftar di perguruan/sekolah tinggi yang sesuai dengan kemampuan akademis serta kemampuan fisiknya (yang tidak mensyaratkan tidak buta warna). Dan secara psikologis, andai saja A sudah tahu akan kebutawarnaan matanya, ia tidak akan shock dengan kenyataan yang baru diketahuinya itu saat usianya sudah 18 tahun, usia dimana hasrat dan cita-cita sedang menggebu-gebunya. Untuk itu, tes buta warna sudah seyogyanya dilakukan sejak usia dini. Atau minimal sesaat sebelum seseorang mendaftar kuliah/kerja, seseorang sudah menyadari keterbatasannya itu.
Buku yang di dalamnya memuat mengenai buta warna dan uji Ishihara sudah banyak yang diperjualbelikan di toko-toko buku. Seorang ibu yang mempunyai anak dapat meluangkan waktunya untuk mengetes mata anak dengan uji Ishihara. Jika ternyata sang anak normal, tentu itu tidak menjadi masalah. Tapi jika sang anak buta warna, hendaknya orang tuanya tidak mengarahkan anaknya itu pada cita-cita tertentu yang mana di dalamnya mensyaratkan untuk tidak buta warna. Orang tua bisa  mengarahkan anaknya pada cita-cita lain yang lebih “aman” untuknya. Hal ini untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari sebagaimana yang dialami A.
Ketika sang anak sudah dianggap layak tahu akan keterbatasannya, orang tua dapat memberitahukan keterbatasannya itu kepada sang anak. Ini untuk mengantisipasi anak agar ia tidak shock di kemudian hari, disamping juga ia bisa mempersiapkan diri untuk memilih cita-cita yang lebih tepat untuknya. Akan lebih baik jika seorang yang buta warna sudah menyadari kebutawarnaannya daripada ia baru mengetahui saat ia gagal dalam pendaftaran kuliah/kerja. Dengan begitu, seseorang sudah “siap menerima kenyataan”.
Sungguh sayang jika seseorang harus gagal menjadi apa yang diinginkannya hanya karena matanya yang tidak mampu melihat beberapa pola warna yang digabungkan dalam Uji Ishihara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DON'T RUSUH!