Rabu, 12 Desember 2018

OPM Bangkit Lagi? Tragedi Penembakan 1 Desember di Irian Jaya



1.      Rifa’i Anas A.H           (185120300111030)
2.      Safagaluh Anggraeni    (185120301111022)


            

Belakangan Ini kita digegerkan dengan kasus pembunuhan yang terjadi di Papua. Tragedi tersebut terjadi pada 1 Desember 2018 di Ndunga, Papua. Menurut keterangan Jimmy (salah satu karyawan PT. Istaka Karya yang berhasil selamat), tragedi pembunuhan bermula dari adanya peringatan hari kemerdekaan KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata), upacara peringatan 1 Desember yang diklaim sebagai hari kemerdekaan KKSB dan dimeriahkan dengan upacara bakar batu bersama masyarakat, Sore harinya KKSB tersebut mendatangi kamp PT. Istaka Karya dan anggota KKSB tersebut mengikat tangan para karyawan serta membawanya ke Kali Karunggame dengan dikawal 50 anggota KKSB bersenjata militer. Keesokan harinya terjadilah pembunuhan di tengah perjalanan menuju Bukit Puncak Kebo para pekerja disuruh jongkok lima shaf lalu ditembakki. Sebagian karyawan yang ditembakki mati dan ada yang masih hidup namun berpura-pura mati. Setelah ditinggalkan oleh KKSB ini para karyawan yang selamat melarikan diri (diduga berjumlah 11 orang) namun 5 orang lainnya berhasil tertangkap oleh KKSB dan dibunuh ditempat oleh KKSB. 4 Orang lari ke Distrik Mbua di Pos Batalyon Infanteri 775/Yalet dan berhasil diamankan oleh TNI dan 2 lainnya belum ditemukan. Keesokan harinya terjadilah penyerangan di pos TNI tersebut oleh KKSB dan menewaskan 2 orang TNI.


Tragedi tersebut diduga sangat erat kaitannya dengan OPM dan disinyalir insiden tersebut dipimpin oleh Egianus Kogoya. Egianus Kogoya merupakan anak Kelly Kwalik (komandan sayap OPM yang terbunuh dalam penyergapan polisi tahun 2009). Dalam segi historis tanah ‘Mutiara Hitam” ini tidak lepas dari konflik, baik konflik intern maupun ekstern. Sejak Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 status papua ini sering terjadi konflik. Belanda pada awalnya tidak menyerahkan papua ke tangan Indonesia sebelum adanya operasi TRIKORA dibawah pimpinan Soeharto yang berhasil merebut Papua dari tangan Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi, namun Belanda sudah menanam politik di tanah “mutiara hitam” ini dengan melarang para masyarakat untuk tidak berkomunikasi dengan orang dari luar negeri dan tidak diperbolehkan untuk mengetahui bahwa diri mereka sendiri merupakan rakyat Indonesia dengan cara menghasut bahwa orang Indonesia merupakan orang Amerika sedangkan masyarakat Papua sendiri merupakan orang Belanda. Hal ini dilakukan agar tercetus sebuah permusuhan antara orang yang berada di wilayah Papua dengan orang Indonesia.


Penyerahan wilayah Papua menimbulkan sebuah friksi. Akibat politik Belanda, membuat masyarakat Papua ingin membentuk bangsa sendiri yang tergabung dengan bangsa di sebelah selatan seperti Micronesia dll. Pembentukan bangsa baru tentunya membutuhkan sebuah lambang, seperti bendera Kejora. Bagi masyarakat yang fanatik dengan politik yang disebarluaskan oleh Belanda inilah yang mendirikan OPM (Organisasi Papua Merdeka). OPM lahir bukan dari keinginan bangsa Papua, tetapi lahir dari pemikiran orang-orang yang membentuk suatu golongan kecil yang sebelumnya mereka dilatih sebagai Papua Vrijwilinger Corps yang merupakan relawan dari bangsa Papua buatan Belanda. Secara keseluruhan, kegiatan OPM terbagi menjadi dua yakni kegiatan politik dan kegiatan militer


Dalam sosiologi para sosiolog sepakat bahwa terdapat hubungan antara angka kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk organsisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Misalnya persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideologi yang tercermin dari kejahatan yang dilakukan oleh OPM ini. Dalam pandangan sosiologis pemunuhan 1 desember tersebut dapat dikategorikan sebagai Kejahatan terstruktur. Hal itu dikarenakan orang-orang yang terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut masih ada kaitannya dengan kelompok OPM yang notabene sudah memiliki struktur yang jelas serta memiliki simbol-simbol tertentu serta bertujuan ingin mangkat dari Indonesia. Aksi tersebut menurut keterangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau TPN/OPM (mengeklaim bertanggung jawab atas aksi 1 desember) aksi tersebut sudah direncanakan melalui pengintaian sejak 3 bulan yang lalu. Selain itu, aksi pembunuhan tersebut bukan semata-mata hanya tindakan kriminal melainkan sudah bisa disebut teorirsme. Dalam kamus KBBI Kemendikbud dijelaskan, makna teroris adalah "orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik", Sedangkan OPM adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari Indonesia dan ingin mendirikan negara papua yang merdeka. Oleh karena itu tindakan tersebut sudah selayaknya bukan lagi menjadi tanggung jawab polisi melainkan TNI yang bertugas mempertahankan negara, dan menjaga keselamatan bangsa.






Mengapa Insiden 1 desember terjadi :


Dalam menganalisis kejahatan, sosiolog berusaha menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Beberapa ahli menekankan pada proses sosial seperti imitasi, pelaksanaan peranan sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi diri, dan kekecewaan yang agresif (Soekanto, soerjono, 2017). Insiden 1 desember sendiri terjadi atas dasar kompensasi, konsepsi diri, dan kekecewaan yang agresif dikarenakan pembangunan jalan trans-papua di pegunungan tengah yang merupakan markas dari OPM. Dengan dibangunnya jalan trans-papua otomatis mereka kehilangan markas dan mereka mulai terusik. Hal ini ditambah dengan sudah adanya konsepsi diri pada mereka bahwa mereka ingin mendirikan negara sendiri sehingga cenderung melanggar norma-norma hukum yang berlaku.


Mengapa tindakan mereka (Egianus Kogoya,dkk) berasosiasi dengan OPM?. Menurut E.H. Sutherland, orang yang berperilaku jahat caranya sama denga orang yang daktidak berperilaku jahat. Artinya perilaku jahat merupakan sesuatu yang dipelajari, Sutherland menyebutnya sebagai proses asosiasi diferensiansi dimana dalam orang dalam sebuah kelompok memperlajari perilaku jahat yang menentang norma-norma yang ada. Bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat tersebut dipelajari dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat lebih intim dan menggunakan alat komunikasi serta simbol-simbol tertentu, hal ini merujuk pada OPM yang mempunyai simbol-simbol yang jelas dalam mempelajari senuah perilaku kejahatan.


Cara mengatasi tindak kejahatan seperti kasus OPM ini dengan menggunakan teknik rehabilitasi. Menurut Cressey ada dua konsepsi rehabilitasi. 1) menciptakan sistem dan program-program yang bertujuan menghukum orang yang berperilaku jahat. Sifat dari program tersebut hendaknya reformatif, artinya adanya hukuman kurungan, hukuman bersyarat. 2) konsepsi kedua lebih menekankan pada aspek kemanusiaan artinya, hukuman lebih bertujuan agar seseorang kembali menjadi manusia biasa dan tidak jahat lagmbalikan konsep diri sebagai mana mestinya sesuai dengi. Dalam konteks OPM, oknum-oknum yang nantinya sudah tertangkap dan di hukum di penjara harus diberikan konsultasi psikologis agar mengembalikan konsepsi diri mereka sebagai mana mestinya yang sesuai dengan nilai dan norma di masyarakat.
Bibliography


Firmansyah, T. (2018, Desember). Pembantaian Nduga, Teroris di Tanah Papua. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/12/05/pj9dcm377-opm-kksb-atau-teroris-di-tanah-papua


Indonesia, B. N. (2018, Desember). Siapa Egianus Kogoya, 'otak' serangan pekerja proyek di Papua. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46454974


TEMPO.CO. (2018, Desember). Kronologi Pembunuhan di Papua, Pekerja Disandera Sejak Sabtu Sore. Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1152394/kronologi-pembunuhan-di-papua-pekerja-disandera-sejak-sabtu-sore


Ilyas, K. 2012. Kembalinya Papua ke Pangkuan Ibu Pertiwi (NKRI). Jakarta: TV One . 35 min.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DON'T RUSUH!