Rabu, 03 Mei 2017

Memproduksi Teks Ulasan Film (Bangkit!) 2016





Disusun Oleh : Rifai Anas Amirul Huda





Ulasan Film Indonesia – Bangkit! (2016)

 

 

Ulasan-Film-Indonesia-Bangkit

 

Bangkit! (2016) - Action, Drama
Durasi: 122 menit 
Sutradara: Rako Prijanto  
Penulis Skenario: Anggoro Saronto 
Produser: Reza Hidayat 
Pemain: Vino G. Bastian, Acha Septriasa 
Putri Ayudya, Deva Mahenra
Rumah Produksi: 
Kaninga Pictures, Oreima Films
Orientasi :

 Addri (Vino G. Bastian), seorang anggota Tim SAR, yang membantu para korban saat banjir bandang melanda ibukota. Pekerjaannya yang menyita waktu di lapangan menyebabkan dirinya tidak dapat menepati janji untuk datang ke resital putrinya, Eka. Hal itu membuat istrinya, Indri (Putri Ayudya) dan putra bungsunya Dwi, menganggap Addri lebih mementingkan orang lain daripada keluarganya sendiri. Saat itu, Addri sedang menolong Arifin (Deva Mahenra), orang BMKG yang terjebak di basement sebuah gedung. Arifin yang akan menikah dengan dokter Denanda (Acha Septriasa) mengetahui bahwa akan terjadi badai dan gempa bumi di Jakarta. Namun, Hadi (Ferry Salim), atasan Arifin di BMKG, tidak percaya dan menganggap Arifin telah menyebarkan kepanikan massal. Keadaan Jakarta semakin genting sampai akhirnya Gubernur (Donny Damara) menghimbau agar Jakarta dikosongkan. Kepanikan pun terjadi dan semua pihak berjuang mencari solusi agar Jakarta tak tenggelam.

Tafsiran isi : 

Jika dilihat dari trailer-nya, Bangkit! sudah cukup menyebarkan kengerian akan Jakarta yang tenggelam. Jalanan dan gedung-gedung pencakar langit runtuh diporakpondakan banjir serta hujan badai. Seolah-olah film berdurasi 122 menit ini hanyalah tentang kehancuran Jakarta akibat banjir bandang tanpa rasa, tetapi dugaan tersebut nyatanya sama sekali keliru. Meskipun Rako Prijanto tampaknya sangat asyik menggeluti CGI (Computer-Generated Imagery) untuk menghadirkan bencana yang luar biasa di ibukota, ia tidak melupakan nilai-nilai berharga di film ini. Kisah keluarga Addri pasca kematian seorang anggota keluarga benar-benar mengiris hati. Rasa terpukul yang dialami Indri mewakili perasaan siapapun yang kehilangan orang yang dicintai saat dilanda musibah. Sikap bertahan dan tidak siap mati menjadi semangat yang patut dicontoh demi mendampingi orang-orang terkasih. Begitu pula dengan pasangan muda Arifin dan Denanda. Meskipun terasa Acha Septriasa kurang cocok bersanding dengan Deva Mahenra, tuturan dan perilaku antar keduanya terlihat tulus dan saling menjaga, sehingga keduanya pantas mendapatkan akhir kisah yang baik. 

Evaluasi :


Sayangnya, pesan-pesan bernilai tersebut tidak diiringi dengan penggambaran karakter yang jelas. Para karakter hanya dijelaskan profesi dan jasanya terhadap jalan keluar dari masalah banjir tersebut, tetapi sifat dan motivasi mereka masing-masing kurang tergambarkan secara rinci dan meyakinkan. Logika sederhana dan detil penceritaan pun masih terlihat dikesampingkan, terbukti dengan beberapa adegan yang membuat dahi berkerut, seperti ketika Denanda menyuntik Arifin tetapi suntikannya belum dibuka serta saat Addri dan Arifin yang berkeliling di tempat yang sama dengan mobil padahal waktu telah berlalu cukup lama. Selain itu, latar waktu yang kurang jelas dan bencana yang tidak merata (Jakarta terbilang kecil, tetapi banyak lokasi yang masih utuh dan lokasi lain sudah hancur) menimbulkan banyak pertanyaan di kepala. Perubahan keputusan Hadi di depan Gubernur pun menimbulkan, mungkinkah seorang atasan BMKG memiliki sikap yang plin-plan seperti itu? Keraguan ini muncul karena, sekali lagi, tidak ada gambaran dan alasan yang jelas untuk karakter Hadi.

Rangkuman : 

Berbicara tentang visualnya, film yang mengambil 1950 shot dalam 100 hari masa syutingnya ini berhasil membuat takut karena tidak sanggup membayangkan bagaimana jadinya jika Jakarta benar-benar tenggelam. Mungkin ini adalah prediksi, mungkin juga hanya sekedar fiksi. Visualisasi hujan lebat, banjir bandang, badai, dan gempa bumi dalam film ini memang termasuk mengerikan, terutama bagi warga Jakarta. Bayangkan saja jutaan warga Jakarta harus segera mengungsi keluar kota dalam waktu hitungan jam, sementara banyak jalanan runtuh menuju luar kota. Teknologi CGI dalam membuat bencana-bencana tersebut memang belum terlihat sempurna, tetapi cukup mumpuni untuk menjadikan Bangkit! sebagai salah satu pelopor film bencana di Indonesia. Bukannya mustahil jika setelah ini banyak sineas yang tertantang untuk memproduksi film yang menggunakan latar bencana yang berbeda.
Adegan-adegan heroik dan berdasar kemanusiaan menjadi keunggulan dari Bangkit! Kecerdasan dan keingintahuan yang besar adalah kunci utamanya. Hal ini mengacu pada tokoh Arifin, yang menurut saya adalah pahlawan yang sebenarnya. Tanpa Arifin, tidak akan ada peringatan siaga dan evakuasi di Jakarta. Semuanya akan terasa seperti hujan dan banjir biasa. Karena rasa ingin tahu yang amat besar, Eka pun berjasa dalam “menuntun” para tokoh lainnya menuju misteri terowongan bawah tanah yang tidak pernah terungkap.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DON'T RUSUH!