Kemajuan yang dicapai oleh umat
Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang
biasa diistilahkan dengan `ulūm naqliyah saja, melainkan juga disertai
dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (`ulūm aqliyah).
Bahkan jika dicermati, kemajuan
sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat yang juga berkembang
pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan
bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang
memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzāt
al-atsar al-māddi fī hayātihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat). Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak
memberikan sumbangan besar kepada peradaban manusia modern dan sejarah ilmu
pengetahun masa kini.
Dinasti ini didirikan pada tahun 750
M-132 H oleh Abdullah Al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas,
salah seoranf keturunan paman Nabi Muhammad, Al-Abbas. Asal-usul Dinasti
Abbasiyah diawali oleh pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh
keturunan Abbas, paman Nabi yaitu Muhammad Ibn Ali, kemudian Ibrahim Ibn
Muhammad sampai Abu Al-Abbas yang bergelar Al-Saffah, terhadap pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah. Pemberontakan-pemberontakan tersebut dilakukan secara
terus menerus dan terorganisasi sehingga pada akhirnya terjadi revolusi
menumbangkan Dinasti bani Umayyah.
Sungguhpun Abu Al-Abbas Al-Saffah
yang mendirikan Dinasti Abbasiyah, namun pembina sebenarnya adalah Abu Ja’far Al-Mansur yang memerintahkan
selama 21 tahun yaitu dari tahun 754 M/ 136 H – 775 M/158 H. Abu Al-Abbas hanya
memerintah selama lima tahun yaitu dari tahun 750 M/132 H-754 M/136 H.[1]\
Bermula dari penyakit Al-Manshur
yang menyebabkan di datangkannya dokter Nestoria yang termansyhur, Jurjis Ibn
Bakhti Yashu dari Akademi Kedokteran jundi Syapur ke istana Abbasiyah, suatu
peristiwa yang paling luas pengaruhnya atas perkembangan sains dan seni pengobatan
pada masa mendatang. Perawatan itu berhasil dan keluarga Bakhti Yashu generasi
demi generasi hidup makmur di Baghdad sebagai dokter-dokter istana. Mereka
membangkitkan studi karya-karya besar Hippocrates (436 SM) dan Galen (200 M).
Kemudian munculnya seorang ahli
Matematika dan Astronomi India ke Istana Al-Manshur pada tahun 773 dengan
membawa sebuah buku Siddhanta menyebabkan penyokong ilmu itu memerintahkan
penerjemahan karya tersebut ke dalam bahasa Arab. Muhammad Ibn Ibrahim
Al-Fazari melaksanakan tugas itu dengan bantuan orang-orang yang cakap, dan
dalam waktu beberapa tahun Irak melahirkan sejumlah ahli Astronomi yang tidak
hanya menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang ada pada waktu itu, tetapi juga
sekali-kali memberikan sumbangan yang asli terhadapnya hingga akhir abad ke-14.[2]
Etos keilmuan para Khalifah
Abbasiyah tampak menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun
Al-Rasyid dan Al-Ma’mun yang begitu mencintai ilmu. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa peradaban Islam diprakarsai oleh penguasa atau memperoleh
patronase penguasa yang dalam hal ini diawali pada masa pemerintahan Harun
Al-Rasyid dan Al-Ma’mun.[3]
Setelah kematian Harun Al-Rasyid,
ketika Al-Ma’mun menggantikannya pada tahta Abbasiyah dia membangun kembali
Bagdad dan mendirikan Darul Hikmah yang unik tempat sekelompok penerjemah ahli
dan para penyelidik asli memperkaya bahasa Arab dengan produk-produk terbaik
sains dan filsafat Yunani. Yang paling utama diantata staf para penerjemahnya
adalah orang Nestoria, Hunain Ibn Ishaq (809-873), yang terutama sibuk dengan
penerjemahan karya-karya Yunani tentang kedokteran dan filsafat.[4]
Penyebab Lahir dan Berkembangnya Ilmu Matematika Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Diantara ilmu
yang dikembangkan pada masa pemerintahan Abbasiyah adalah ilmu hisab atau
matematika. Ilmu ini berkembang karena kebutuhan dasar pemerintahan untuk
menentukan waktu yang tepat. Dalam setiap pembangunan semua sudut harus
dihitung dengan tepat, supaya tidak terdapat kesalahan dalam pembangunan
gedung-gedung dan sebagainya.[8]
Dalam bidang
Matematika nama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi (W. 863 M / 249 H) sangat
terkenal dengan penemuan-penemuannya. Ia menjadi saintis terkenal di istana
Al-Ma’mun dan turut serta mengukur derajat busur bersama komisi ahli astronomi
yan dibentuk oleh Al-Ma’mun untuk tugas ini.
Karya
Al-Khawarizmi di bidang Matematika mempunyai pengaruh hebat dan lebih besar
dibanding karya ahli matematika mana pun. Tulisannya Aljabar merupakan karya pertama Muslim dalam aljabar dan menjadi
nama tersendiri dalam bidang sains ini. Ia memperkenalkan bilangan India kepada
dunia Muslim. Dan melalui karya aritmatikanya, Barat mengenal bilangan mereka
namakan bilangan Arab. Pengaruhnya dibuktikan oleh fakta bahwa Algorisme,
sebutan Latin untuk Al-Khawarizmi, untuk masa yang lama berarti Aritmatika
dalam sebagian besar bahasa Eropa, dan digunakan sekarang untuk metode
penghitungan berulang yang telah menjadi satu aturan yang tetap.[9]
Umar Al-Khayam
dan Al-Thusi adalah ulama yang terkenal dalam bidang ilmu Matematika. Angka Nol
adalah ciptaan umat Islam. Pada tahun 873 M, angka nol telah dipakai di Dunia
Islam. Angka-angka yang dipakai ulama di Dunia Islam dibawa para ilmuwan ke
Eropa pada tahun 1202 M. Oleh karena itu, angka 0 sampai angka 9 yang dipakai
sekarang, di Eropa disebut angka Arab.
Jasa atau fungsi
umat Islam terhadap peradaban dunia adalah ditemukannya angka Arab dan nol yang
dengan angka tersebut Matematika menjadi efektif dan begitu cepat berkembang.
Sebelumnya, matematika dinilai lambat berkembang karena menggunakan angka
Romawi, seperti I, II, III, IV, V dan seterusnya.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
DON'T RUSUH!