Sabtu, 17 Februari 2018

Propaganda Media Sosial Melalui “Raccun” Zaman Now






 


                                                



       Disusun Oleh         :
          Nama           : Rifai Anas Amirul Huda
          Nomer Abs  : 23
          Kelas           : XII. IPS 4

Pendahuluan
Perkembangan Internet di seluruh dunia terus mengalami peningkatan termasuk di Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh We Are Social menunjukkan pengguna internet di seluruh dunia dari tahun ke tahun naik hingga 7,6 persen. Hingga Agustus 2015 pengguna aktif di seluruh dunia mencapai angka 3,17 miliar. Tingginya angka pertumbuhan tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan pengguna media sosial dan mobile. Data mencatat pengguna media sosial aktif kini mencapai 2,2 miliar sedangkan pengguna mobile mencapai 3,7 miliar. Facebook menjadi media sosial yang paling banyak digunakan dengan angka mencapai hampir 1,5 miliar (https://id.techinasia.com).

Di Indonesia angka pengguna internet juga mengalami peningkatan. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta ada sekitar 88,1 juta yang aktif menggunakan internet. Selama setahun –mulai Januari 2015 hingga Januari 2016 –ada sekitar 15 persen kenaikan angka pengguna internet. Pada priode yang sama terjadi kenaikan sebesar 10 persen untuk penggunaan media sosial. Jika dililhat secara rinci ada sekitar 79 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia dan ada sekitar 66 juta orang yang mengakses media sosial melalui perangkat mobile. Facebook masih menjadi layanan media sosial yang memiliki pengguna paling aktif di Indonesia. (http://tekno.liputan6.com/).
Peningkatan pengguna internet di indonesia ini juga berpengaruh pada meningkatnya penggunaan media sosial. Tidak salah apabila Indonesia dikatakan sebagai negara potensial untuk pengembangan pasar digital. Namun ada fakta terselubung dibalik meningkatnya intensitas penggunaan internet di Indonesia. Angka penggunaan internet khususnya media sosial yang tinggi itu tidak diimbangi dengan penggunaan media sosial yang baik oleh setiap pengguna media sosial. Media sosial yang memberikan kebebasan pada kita untuk mengekspresikan diri, sikap, pandangan hidup, atau hanya sebagai tempat curhat seakan-akan memberikan kebebasan yang sudah kebablasan. Kita patut prihatin dengan kondisi saat ini, cukup banyak orang yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian dan provokasi. Perubahan media sosial sebagai media komunikasi masyarakat, sekarang mnjadi ajang propaganda opini masyarakat dengan “racun-racun” zaman now. “Racun” zaman now sudah tidak berupa sianida, arsenik, polonium atau sejenisnya yang sudah terbilang usang. Racun-racun yang tumbuh dan menggerogoti jiwa masyarakat sekarang adalah maraknya berita HOAX  dan ujaran kebencian.

II. Pembahasan
Ujaran kebnccian (hate speech) mnjadi masalah yang serius yang dialami masyarakat. Kebanyakan masyarakat zaman sekarang tidak tahu batas soal penggunaan sosial media dalam berokomunikasi. Mereka cenderung meluap-luap dalam berkspresi terhadap suatu fnomena.Semenjak Pilpres 2014. Istilah ‘hater’ pun dikenal luas, yang menandai orang-orang dengan kecenderungan membuat pesan ujaran kebencian pada orang atau kelompok tertentu. Kebhinnekaan sebagai pengikat sosial diuji karena kecenderungan praktik ujaran kebencian yang dipromosikan melalui media sosial. Kondisi itu diperparah oleh penyalahgunaan media sosial seperti persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoax) yang dampaknya menimbulkan permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Keberadaan internet sebagai media online membuat informasi yang belum terverifikasi benar dan tidaknya tersebar cepat. Hanya dalam hitungan detik, suatu peristiwa sudah bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna internet melalui media sosial. Melalui media sosial, ratusan bahkan ribuan informasi disebar setiap harinya. Bahkan orang kadang belum sempat memahami materi informasi, reaksi atas informasi tersebut sudah lebih dulu terlihat. Hal ini berlangsung khususnya pada situasi politik tertentu, misalnya pada saat Pemilu, Pilpres dan pada masa Pilkada serentak di beberapa wilayah di Indonesia, dimana terdapat indikasi adanya persaingan politik dan kampanye hitam yang juga dilakukan melalui media sosial.
Kegaduhan yang terjadi di media sosial dinilai bisa merambat ke dunia nyata jika tidak segera diatasi. Perbincangan yang terdapat di media sosial berpotensi “meracuni” pemahaman publik mengenai suatu hal dalam kehidupan masyarakat. Kegaduhan di media sosial dapat berdampak dalam kehidupan riil karena media sosial ini juga membentuk konstruksi pemaknaan tentang asumsi sosial kita. Kegaduhan yang terjadi di media sosial semacam itu kerap kali menggunakan sentimen identitas yang bermuara pada hujatan dan kebencian dan karenanya dapat melunturkan semangat kemajemukan yang menjadi landasan masyarakat dalam berbangsa. Pada akhirnya konsep tentang kebinekaan mengalami dekonstruksi oleh argumen-argumen yang ikut dibentuk melalui media sosial. Tebongkarnya kasus komplotan saracen, membukakkan mata kita bahwa ada pihak-pihak yang memang menggunakan media sosial sebagai sarana pengadu domba opini rakyt menjelang pilkada.
Pengamat Media Sosial dari Provetic, Iwan Setiawan, menilai perbuatan sindikat penyebar ujaran kebencian atau isu SARA dan hoax seperti grup Saracen, berakibat buruk bagi keutuhan negara. Hal tersebut didasari analisa Iwan yang melihat hate speech perorangan mampu memberi dampak pada masyarakat luas, apalagi jika dilakukan terorganisir seperti Saracen. Iwan mengatakan, menggiring opini melalui media sosial lebih gampang bila pendistribusian kontennya terorganisir. (https://news.detik.com) . Sindikat Saracen memiliki grup di Facebook. Mereka memproduksi isu SARA yang disebar ke media sosial. Mereka juga kerap mengirim proposal kepada beberapa pihak terkait jasanya untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuasa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah. Jika tidak diantisipasi pertumbuhan sindikat macam saracen ini akan membahayakan keutuhan bangsa indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK) menyebut hoax berpotensi membuat 2 negara berperang. JK memberi contoh korban hoax adalah hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Qatar.
Lantas bagaimana cara kita untuk menanggulangi perkembangan berita hoax ?
Kini kita banyak menyimak dan mengkonsumsi hoax berlebihan, akibatnya otak kita mual – mual dan muntah cibiran serta makian lewat mulut kita sendiri. Kayaknya kita sudah mulai alergi ketika menghadapi isu – isu yang kurang uenak untuk didengar dan dibicarakan, seakan baru sebentar saja dunia sudah diporak-porandakan oleh wacana – wacana murahan, tidak beraturan dan saling berbenturan, sehingga kita jadi saling hasut dan bermusuhan. Kalau menurut si mbah google salah, atau si ustad fulan bilang salah, atau juga si prof anu blang salah, anggapnya sudah salah semuanya, walaupun kemungkinan besar informasinya hanya kita baca lewat media yang mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
Media,lewatnya kita bisa dibutakan dalam sekejap dengan racun – racun dan bahan mematikan lainnya yang mungkin itu kita konsumsi sehari-hari. Baudrillard berargumen bahwa,“televisi dan begitu pula media massa lainnya telah meninggalkan ruang yang dimediasi demi menyimpan kehidupan ‘nyata’di dalamnya dan mengubah dirinya sendiri seperti layaknya yang dilakukan virus terhadap sel yang normal. Kita bergerak mengarungi dunia dalam citra yang disintesasikan. Yang demikian itu sagatlah fatal ketika kita tidak mampu memfilter dan mengcounter apapun yang kita konsumsi lewat media. Tanpa disadari ketika berkenalan dengan media sosial hubungan asmara denganya begitu cepat, dengannya kita merasa menjadi Tuhan oleh karna ribuan pengikut dan tukang suka yang selalu memuja dan memuji kita.
Hoax atau berita bohong yang tidak sesuai realita, kinimenghegemoni dan menemukan tempatnya yang nyaman di media, terlebih di Medsos(media sosial). Secara realitas kita melihat paling banyak berita yang disebar melalui media sosial, berbagai macam pengguna medsos yang tidak bertanggung jawab setiap harinya menyebar berita yang tidak valid. Ada semacam kemauan diluar kehendak untuk terus melakukan kejahatan, daripada menyampaikan informasi – informasi yang sejuk dan bermanfaat. Tangan serasa ringan dalam menyebar fitnah, kebencian, dan provokasi di media sosial yang menurut mereka adalah suatu kebanggan. Yang kemudian itu membentuk mental – mental yang hanya berani di dunia maya saja. Sesuai kondisi dan situasi bagaimana membuat dan menyebar hoax.
Hal ini tentu membuat kita sering terperangkap dalam jebakan yang sudah didesain di dunia maya oleh sebgian mereka yang banyak berkontribusi pada produk hoax. Bukan hanya di kalangan masyarakat biasa yang banyak terperangkap dalam jebakan tersebut termasuk juga sebagian kalangan akademisi. Kita  sudah susah membedakan mana berita yang benar dan berita yang tidak benar, saking banyaknya dan tersistematisnya gerakan–gerakan pembuat dan penyebar hoax di media sosial.

1.      Bijaksana dalam Membaca Berita
Banyak contoh kasus yang terjadi seperti, adanya broadcast pesan dengan dalih masuk surga kalau tidak di sebarkan maka akan masuk neraka, atau pesan berhadiah jutaan rupiah, mama minta pulsa dan lain sebagainya. Fenomena ini pada tingkatan tertentu sudah banyak tersebar dan banyak memakan korban. Sehingga akan sangat berbahaya ketika kita sembarangan percaya pada tulisan ataupun berita yang tidak jelassumbernya. Yang kemudian ketika dishare maka akan merubah mindset dari si pembaca, dan tidak menutup kemungkinan akan sembarangan dalam berfatwa dan menuduh orang, entah itu saudara, kawan, keluarga bahkan orang tua. Jangan sampai kita terpengaruh dengan berita – berita yang membuat kita terprovokasi dan melakukan aksi diluar etika dan berperilaku yang tidak seharusnya. Intinya bahwa harus hati – hati dalam menggunakan media sosial.Konkretnya bahwa ada aturan, etika dan batasan tertentu yang harus kita perhatikan. Agar supaya kita tidak menambah keresahan dimasyarakat dalam menerima informasi yang mungkin bisa berkategori fatal kalau dikonsumsi. Jadilah pengguna Medsos yang bijak dan tidak mengikuti kemauan nafsu dalam bermedsos..

2.      Etika Berkomunikasi Pada Media Sosial
Pada prinsipnya, kaidah-kaidah komunikasi baik secara langsung atau melalui media pelantara tetap harus dijunjung tinggi. Ketika seorang individu atau masyarakat sedang berkomunikasi, maka pada dasarnhya mereka sedang membangun unsur kepercayaan di sela-sela relasi komunikasi. Pada saat ini medi sosial menjadi satu alat atau media yang paling dominan dan atau paling banyak digunakan untuk berkomunikasi khususnya di kalangan pemuda. Baik atau tidaknya komunikasi yang mereka bangun di media sosial akan berdampak pada tatanan sosial yang ada. Oleh karenanya, menjaga etika berkomunikasi pada saat menggunakan media sosial menjadi menjadi penting untuk dilakukan. Ada beberapa etika komunikasi yang harus dikembangkan oleh para pengguna media sosial diantaanya yaitu yaitu; (1) tidak memberikan informasi pribadi secara berlebihan. (2) Berkomunikasi secara santun, dan (3) Beropini berdasarkan fakta.

3.      Kemampuan Dalam Memilah Informasi Hoax
Pertumbuhan penggunaan internet dan smartpohone yang terus meningkat setiap tahunnya juga berkorelasi secara positif dengan penggunaan akun media sosial. Bersarnya pertumbuhan tersebut harus diimbangi dengan kemampuan memilah bahan literasi digital atau bacaan digital yang baik. Sebab jika tidak diikuti dengan kemampuan memilah yang baik maka akan terjebak pada informasi-informasi yang bersifat hoax atau bohong.Ada tiga cara untuk mengukur kemampuan dalam memilah informasi yang bersifat hoax yaitu; (1) Kemampuan Memilah Judul Yang Cenderung Profokatif, (2) kemampuan dalam mencermati alamat situs, dan (3) kemampuan dalam memeriksa fakta pada konten informasi atau berita.

III. Penutup
Ujaran kebencian kian meningkat jumlahnya di ranah online. Bagi masyarakat Indonesia yang plural dampak atas persebaran hoax dan ujaran kebencian sungguh mengkuatirkan. Kasus-kasus yang sudah terjadi sebagai akibat dari menyebarnya hoax dan ujaran kebencian seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga. Jalan yang ditempuh dalam mengatasi persebaran hoax dan ujaran kebencian misalnya dilakukan oleh pemerintah dengan pendekatan struktural melalui regulasi. Selain itu, upaya kultural melalui peningkatan kemampuan literasi media menjadi suatu kebutuhan relevan untuk segera dilakukan dalam rangka mengembangkan keberdayaan netizen dalam merespon merebaknya pesan-pesan kebencian di ranah online terutama melalui media sosial.

Masifnya peredaran informasi palsu (hoax) melalui media sosial hendaknya menyadarkan para pengelola media arus utama untuk bekerja lebih profesional dengan standar jurnalistik tinggi. Masyarakat butuh rujukan informasi yang terpercaya dan pada sisi itulah media massa dapat menjawabnya melalui suguhan informasi yang terverifikasi. Media massa harus memperjelas fungsinya sebagai penyaji fakta empiris dan kebenaran.
Fungsi utama kerja media massa adalah membuat masyarakat memiliki informasi yang memadai tentang sebuah peristiwa dan fenomena. Fungsi semacam itu hanya bisa dipenuhi jika media massa terus menyajikan fakta-fakta empiris. Informasi dari media sosial yang belum jelas kadang begitu saja dirujuk dan dikutip media massa arus utama dalam pemberitaan mereka. Berita itu kemudian bergulir menjadi viral dan menjadi lingkaran setan.
Setiap orang kini adalah wartawan (citizen journalist) ketika mereka terlibat dalam aksi mencari, menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi. Sebagai wartawan, perhatian pada etika adalah mutlak. Literasi media yang berkewarganegaraan harus mampu melahirkan kemampuan literasi media yang tinggi ditandai oleh:
1) daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan,
2) kemampuan untuk mencari dan memverifikasi pesan,
3) kemampuan untuk menganalisis pesan dalam sebuah diskursus,
4) memahami logika penciptaan realitas oleh media,
5) kemampuan untuk mengkonstruksi pesan positif dan mendistribusikannya kepada pihak lain. Di Indonesia, pendekatan

Masyarakat sebaiknya menyelidiki benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu disebarkan. Kalau sumber tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan tidak bermanfaat, maka tidak usah disebarkan. Di sisi lain, media massa mainstream termasuk media berita online, diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun media tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Media boleh saja diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus dipimpin orang yang kompeten dan bermoral dalam mengabdi kepada publik luas

Daftar Pustaka

Pratama, Aditya Hadi (2017). Perkembangan Pengguna Internet di Indonesia Tahun 2016 Terbesar di Dunia. https://id.techinasia.com/pertumbuhan-pengguna-internet-di-indonesia-tahun-2016. Diakses pada 1 februari 2018

 

Maulana, Adhi (2015). Jumlah Pengguna Internet Indonesia Capai 88,1 Juta. http://tekno.liputan6.com/read/2197413/jumlah-pengguna-internet-indonesia-capai-881-juta . Diakses pada 1 februari 2018.

 

Santoso, Audrey (2017). Saracen, Penyebar Konten SARA yang Dapat Memecah Belah Bangsa. https://news.detik.com/berita/3616459/saracen-penyebar-konten-sara-yang-dapat-memecah-belah-bangsa . Diakses pada 7 febuai 2018


Juliswara, Vibriza (2017). Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial. Vol  4 No 2, Agustus 2017. Diambil dari https://journal.ugm.ac.id/jps/article/view/28586. Diakses pada 7 februari 2018.
 Mujahiddin, M. Said Harahap.(2017). Model Penggunaan Media Sosial di Kalangan Pemuda. http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/interaksi/article/view/1200 . Diakses pada 6 februari 2018.

\

Paputungan, Ersandi (2017). Antara Hoax dan Realita. https://aksaratotabuan.wordpress.com/2017/11/26/antara-hoax-dan-realita/ . Diakses pada 6 februari 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DON'T RUSUH!