Senin, 10 April 2017

Makalah Meneladani Perjuangan Para Tokoh Proklamasi "Achmad Subardjo"



Makalah Meneladani Perjuangan Para Tokoh Proklamasi Achmad Subardjo









Disusun Oleh       :
          Nama                   : Rifai Anas Amirul Huda
          Nomer Abs : 23
          Kelas          : XI.IPS4





KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Meneladani Perjuangan Para Tokoh Proklamasi makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Penulis  menyadari bahwa dalam  penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari guru mata pelajaran guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik  di masa yang akan datang.
Blora, 12 Maret, 2017

Penyusun
Rifai Anas Amirul Huda






DAFTAR ISI

Halaman Sampul ………………………………………………………………………………………….!
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………….!!
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………….!!!


BAB I
PENDAHULUAN



  1. Latar Belakang ……………………………………………………………………………………….1
  2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………….2
  3. Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………………………2
  4. Manfaat Penulisan ………………………………………………………………………………….2

5. Metodologi Pembahasan
………………………………………………………………………………….2
BAB II
PEMBAHASAN


1.Perjalanan hidup Achmad Subarjo
……………………………………………………………………..3
2. Peran Achmad Subarjo dalam perjuangan menuju proklamasi Indonesia
……………………………………………………………………..3
3. Tugas-tugas Achmad Subarjo sebagai Mentri luar negeri pertama
……………………………………………….6



BAB III
PENUTUP



  1. Kesimpulan ………………………………………………………………………………………….9
  2. Saran ………………………………………………………………………………………………….9

Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………….10


1.Pendahuluan
1.1           Latar Belakang
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 memiliki arti yang sangat penting bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan sebagai puncak perjuangan bangsa Indonesia, Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan NKRI dari Miangas sampai Rote dan dari Sabang sampai Merauke. Proklamasi Kemerdekaan merupakan titik tolak dari pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat dan sebagai titik tolak perubahan dari tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional.Proklamasi 17 Agustus 1945 melibatkan peranan banyak orang. Bahkan bukan hanya bangsa Indonesia, tetapi sebagian bangsa lain juga bersimpati untuk perjuangan bangsa Indonesia. Para tokoh memiliki peranan berbeda-beda dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Mereka berperan sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang harus dilakukan. Sebagai contohnya  adalah Ahmad Soebardjo.

1.1           Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dita suimpulkan masalah masalahnya :
1.      Bagaimanakah perjalanan hidup Achmad Subarjo
2.      Apa peran Achmad Subarjo dalam perjuangan menuju proklamasi Indonesia
3.      Apa Tugas-tugas Achmad Subarjo sebagai Mentri luar negeri pertama

1.2           Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui suri tauladan dari para tokoh proklamasi dan menghargai perjuangan para pahlawan proklamasi yang membangun Indonesia
1.3.      Manfaat
Adapun manfaat dari menulis karya tulis ilmiah ini adalah :
1.      Mengetahui perjalanan hidup Achmad Subarjo
2.      Mengetahui perjuangan Achmad Subarjo dalam proses menuju kemerdekaan Indonesia
3.      Mengetahui Tugas-tugas dan teladan dari Achmad Subarjo sebagai mentri luar negeri pertama di Indonesia

1.4.   Metodologi Pembahasan
Untuk menjawab beberapa permasalahan di atas yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan dengan pendekatan deskriptif untuk mendapatkan kajian yang memadai guna menemukan jawaban dari rumusan masalah di atas.
II.         Pembahasan
A .Perjalanan hidup Ahmad Soebarjo :
Menteri Luar Negeri Pertama R.I. ini, lahir di Teluk Jambe Karawang, sebuah desa di tepi Sungai Cimanuk (Jawa Barat) pada tanggal 23 Maret 1896. Dari kakek-buyutnya H. Muhammad Usman seorang pejuang perang Aceh dari Pidie. Ia meninggalkan Aceh merasa tidak aman hidupnya karena di kejar-kejar oleh aparat pemerintah kolonial Belanda dan persaingan internal kelompok pejuang. Pada tahun 1840, Teuku Usman bersama pengikutnya dengan perahu layar sampai di perairan Indramayu pantai utara pulau jawa. Tatkala mendekat Pantai Indramayu perahunya dilanda topan hancur berantakan, Teuku Usman bersama pengikutnya berenang menyelamatkan diri, terdampar di pantai panganjang di tepi sungai cimanuk, kemudian ia mendirikan pesantren dan menjadi tokoh di desa tersebut, kemudian ia menikah dengan gadis tersebut dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, anak pertamanya bernama Teuku Saleh, anak kedua bernama Abdul Karim dan seorang perempuan bernama Cut Aminah. Kakeknya Abdul Karim menikah dengan gadis Wardinah anak seorang pedagang kayu bernama Haji Husein, sesudah pernikahannya Teuku Abdul Karim pindah ke kota Indramayu. Disana tidak terlalu lama menetap, karena masyarakat meminta dia menjadi khatib Masjid Jatibarang. Dalam perkawinannya Teuku Karim mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu: Teuku Jusuf anak sulung ayah, Ahmad Subarjo adik-adiknya adalah Ismail, Mujenal, Muchsan dan Sidua. Teuku Karim meninggal dunia di Jatibarang, sepeninggal Teuku Karim istrinya pindah ke Indramayu, kemudian ke Teluk Agung yang jaraknya 4 km dari kota Indramayu. Ketiga anak laki-lakinya dikirim masuk pendidikan pesantren pengajian, anak perempuan dan bungsunya yang tinggal bersama ibunya, ayah Subardjo Teuku Jusuf di wilayah Indramayu tersohor sebagai qori pembaca Al-qur’an karena suaranya yang merdu. Ia seringkali mendapat undangan dari Husli Wedena (camat) Teluk Agung Indramayu bernama Ahmad yang pernah menjadi santri disebuah pesantren di Surabaya, berangkat dari santri Ahmad bersekolah di Negeri Belanda yang mengantarkannya ke kader pamongpraja.
Ahmad tertaut pada kesalehan Teuku Jusuf dan menjodohkannya dengan putri tunggalnya Wardinah dari perkawinan pasangan ini lahir 4 (empat) orang anak, anak pertama perempuannya diberi nama Siti Chadijah, anak kedua Siti Alimah, disusul Aburakhman dan yang bungsu bernama Abdul Manaf. Nama Abdul Manaf tinggal menjadi lahir. Atas usul kawan kakeknya nama diganti menjadi Soebardjo yang berarti “Cemerlang” atau “Gemerlapan”. Nama lamanya Abdul Manaf yang artinya….., menurut pendapatnya terlalu berat bagi si bayi. Neneknya menambahkan nama Kakeknya Ahmad, lengkaplah namanya menjadi Ahmad Soebardjo.
Karena menjadi menantu Pamong Praja, Teuku Yusuf, kemudian menempuh karir ke Pamong Praja juga. Ketika Soebardjo lahir, Ayahnya telah menjabat Mantri Polisi Pamong Praja (Sekretaris Kecamatan) Teluk Jambe. Karir ini dimulai dari magang (calon pegawai). Dengan statusnya sebagai Pejabat Daerah, Teuku Yusuf mempunyai hak untuk menyekolahkan ank-anaknya ke sekolah Belanda. Di Karawang belum ada sekolah Belanda. Teuku Jusuf menyekolahkan anak-anaknya ke Batavia. Soebardjo bersama Kakak-kakaknya terpaksa mandok di Batavia, mereka bersekolah di tiga sekolah. Europeesche Lagere School-ELS di Kwitang, kemudian pindah ke ELSB di Pasar Baru, tamat ELS Soebardjo melanjutkan pendidikannya di Prince Hendrik School (Sekolah Pangeran Hendrik) kemudian pindah ke sekolah Koning William III (KW III) di Salemba, suatu sekolah almamater para pemimpin Indonesia dan pelbagai suku bangsa. Di sekolah ini Soebardjo banyak membaca buku. Buku yang yang paling menyentuh hatinya adalah Max Havelar yang ditulis oleh Douwes Dekker mantan pejabat Asisten Residen Lebak (Banten). Penulis menggunakan nama samaran Multatuli. Buku ini berkisah tentang kesewenang-wenangan para penguasa baik Belanda maupun pribumi terhadap rakyat.
Di sekolah ini Soebardjo bersahabat dengan Max Maremis. Persahabatan terjalin karena mereka mempunyai hobby yang sama, musik klasik. Mereka berlatih secara tekun. Artikel pertama yang menggugah kesadaran politiknya adalah Een Eereschuld (Hutang Budi) karya Van Deventer. Artikel ini terbit pada 1899, dalam majalah De Nieuwe Gido. Ia mengetengahkan sebuah gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan pendidikan pribumi agar pribumi dapat dilibatkan perannya dalam semua bidang pekerjaan baik di lingkungan pemerintah maupun swasta. Van Deventer megusulkan agar dilaksanakan desentralisasi pemerintah, dalam rangka membantu kemajuan penduduk. Kesadaran politik dan kebangsaan semakin berkembang pada tahun 1913 setelah terjadi peristiwa besar. Peristiwa itu adalah perayaan 100 tahun kebebasan Belanda dari kekuasaan Perancis yang diadakan secara besar-besaran. Tiba-tiba saja perayaan itu terganggu oleh selembaran tulisan yang berjudul ”Als ik een Nederland was…” (Seandainya aku orang Belanda,,) yang ditulis bersama Tiga serangkai anggota Indische Partij, Suwandi Suryaningrat, Dr Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker.
Soebardjo menamatkan pendidikan HBS Koning Willem III (KW III) pada tahun 1917. Pada tahun itu juga Soebardjo bergabung dengan Tri Koro Darmo organsiasi pemuda di bawah naungan Boedi Utomo. Bersamaan dengan itu Achmad Soebarjo sangat dipengaruhi oleh pemimpin-pemimpin pergerakan nasional pada waktu itu, salah satunya yaitu HOS Tjokroaminoto yang sangat  mengesankan Soebardjo dengan kata-katanya yang nasionalis, kata-katanya adalah
“ Kita adalah bangsa yang mempunyai harga diri dan bukan bangsa kodok, yang menongkok ditanah untuk menghormati yang lain, tanpa memandang pangkat atau pendidikannya”
Seusai perang Dunia ke-I, Soebardjo melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda, pelayaran ke negeri Belanda. Beberapa orang sahabatnya menyusul kemudian yaitu Alex Meramis dan Nasir Datuk Pamontjak. Di negeri Belanda ini ia bertemu dengan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Soebardjo juga bertemu dengan Sneevliet yang menjadi pemimpin Partai Buruh Belanda, dialah orang yang mendirikan ISDV (Indische Sosial Demokratisehe Partij), kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). 
Pada tahun 1908 para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mendirikan organisasi Indische Vereniging sebagai sumbangan dari berdirinya Boedi Oetomo yang didirikan oleh para siswa STOVIA di Batavia tujuan organisasi ini adalah mengembangkan semangat kebangsaan Indonesia memajukan kebudayaan dan sejarah. Terbentuknya perhimpunan ini .
Pada awalnya organisasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan dan persaudaraan mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Para pendirinya antara lain Raden Panji Sosrokartono mahasiswa jurusan bahasa-bahasa timur, kakak R.A. Kartini. Tokoh Indische Vereniging lainnya adalah Raden Mas Notosuroto, mahasiswa Fakultas Hukum, bangsawan keturunan Paku Alaman. Tokoh lainnya adalah Husein Djajadiningrat, mahasiswa jurusan bahasa-bahasa Timur, seorang keturunan Bupati Banten, mereka adalah generasi pelopor. Pada generasi kedua adalah dr. Gunawan Mangunkusumo yang memimpin. Namun organisasi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I), ketua P.I. dr. Gunawan bersikap anti cina dan dialah yang mempelopori keluar dari Indonesiche Verband (gabungan organisasi mahasiswa yang berasal dari indonesia) suatu organisasi federasi pimpinan P.I. beralih dari dr. Gunawan ke Soebardjo, karena berbagai masalah pelik yang dihadapi organisasi. Ahmad Soebardjo mengundurkan diri pada tahun 1920 diganti oleh Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo 1908 yang memimpin P.I. sampai tahun 1921.
Pada tahun 1921 beberapa mahasiswa datang belajar di negeri Belanda antara lain Muhammad Hatta, Iwa Kusuma Soemantri, Muhammad Nazif, Darmawan Mangoen Koesoema, P.I. berkembang pesat tatkala dipimpin oleh para mahasiswa generasi ketiga ini arah politiknya amat jelas, persatuan bangsa dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Dalam suatu rapat Soekiman (ketua P.I.) mengusulkan agar Soebardjo memimpin kembali P.I. Ia menolak dan mengusulkan Mohammad Hatta menjadi ketua P.I. sidang sepakat Mohammad Hatta dipilih sebagai ketua P.I. yang dijabatnya selama enam tahun (1925-1931).
Kembali ke Tanah Air.
Setelah tujuh tahun belajar dan berjuang dalam organisasi P.I. di negeri Belanda, pada bulan April 1934 kembali ke tanah air. Sebagai seorang yang pernah sebagai aktivitas Perhimpunan Indonesia (P.I.) hati nuraninya Achmad Soebarjo menolak bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, padahal lowongan untuk jabatan di pemerintahan sangat terbuka bagi seseorang yang berpendidikan tinggi. Akhirnya ia memilih bekerja swasta di Kantor Bantuan Hukum Mr. Sastro Muljono, seniornya di Semarang, banyak juga mantan anggota P.I. yang bekerja di pemerintahan, antara lain Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Dr. Akhmad Mochtar dari Semarang Soebardjo pindah ke Surabaya juga dikantor Bantuan Hukum Mr. Iskaq (Tjokro Hadisoerjo). Pada tahun tiga puluhan itu Soebardjo menyaksikan surutnya perjuangan pergerakan nasional. Para tokohnya, Ir. Soekarno, Sartono, Muhammad Hatta saling berbeda pendapat mengenai strategi perjuangan sekalipun mereka mempunyai dasar yang sama: Non Kooperasi.
B. Achmad Subarjo dalam perjuangan menuju proklamasi Indonesia
Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda berakhir untuk selama-lamanya setelah menyerah tanpa syarat di Kalijati, Sabang pada tanggal 8 Maret 1942. Pasukan Jepang memasuki Jakarta dengan parade kemenangan yang disambut penduduk sebagai pembebas. Beberapa waktu kemudian Soebardjo bertemu dengan Soedjono. Ia meminta agar Soebardjo menyusun memorandum singkat sebagai petunjuk hubungannya dengan Sanseikanbu (Pemerintahan Militer Jepang) Kepada Kolonel Miyoshi. Sementara itu Soebardjo ditawari bekerja pada kantor penasehat Hatta. Tidak lama kantor ini bubar setelah terbentunya Poetera (Poesat Tenaga Rakyat. Setelah Kantor Penasehat Hatta dibubarkan, ada dua orang Jepang Ishii dan Nishijima datang ke rumah Soebardjo. Dua orang Jepang itu ternyata dari kantor Penghubung Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) dibawah pimpinan Laksamana Muda Maeda, Tadashi. Mereka meminta Soebardjo melakukan penelitian tentang masalah  bahan  makanan, untuk kepentingan perang dan hubungannya dengan reaksi petani. Tawaran ini diterima oleh Soebardjo, kantornya di Jl. Prapatan 60. Ia diberi kebebasan untuk memilih pembantu-pembantunya. Beberapa orang yang dipilih adalah Embah Soediro, sebagai sekretaris, Etty Abdurachman, kemenakan Soebardjo, Ahmad Soerjo saudara sepupu istrinya, Tasti Kusumo Utojo, Mr. Suwandi, saudara sepupu Paku Alam dan BRM Suryodarmojo, Putera Paku Buwono XI. Tugas untuk Soebardjo pada dasarnya adalah pengumpulan data dan sejarah pergerakan  nasional yang meliputi konsep nasionalisme, sikap bangsa Indonesia terhadap kelompok Rasial. Dari tugas ini hubungan  pribadi Soebardjo dengan Laksamana Maeda menjadi akrab.
Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Sesuai dengan janji Koiso, pada bulan Maret 1945 Jepang membentuk BPUPKI yang bertugas menyusun rancangan Konstitusi negara Indonesia yang akan merdeka. Hampir semua tokoh pergerakan diangkat sebagai anggotanya. Jumlahnya 61 orang, yang dipimpin oleh dr Rajiman Wedyodiningrat. Soebardjo termasuk yang dipilih dengan nomor urut 42. Soebardjo menjelaskan bahwa Soekarno berjasa meletakkan dasar pandangan  hidup atau filosofi  rakyat Indonesia mengenai kehidupan dan dunia, yang terumus dalam sila-sila Pancasila. Kemudian diperdaulatkan, teori apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia. Ada tiga teori yaitu teori individualis, teori klas, teori negara kesatuan. Setelah masing-masing melakukan curah pendapat dan tukar pendapat, Soekarno membentuk kelompok sembilan orang yang disebut panitia-9. Soebardjo mengusung gagasan Kongres menentang Imperialisme di Brussel pada bulan Februari 1927 yakni Imperialisme dan kolonialisme hendaklah dihapuskan. Ada gagasan lain yaitu tentang menentukan nasib sendiri yang mengdopsi gagasan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson pada tahun 1917. Dan sublimasi gagasan itu lahirlah paragraf 1 dari rancangan pembukaannya. Panitia 9 menurut Soebardjo menghadapi kesulitan ketika mencari kompromi antara ideologi nasionalis dan konsepsi Islam mengenai negara dan masyarakat. Pada sidang kedua panitia 9 yang berlangsung selama satu minggu (tanggal 10-17 Juli 1945) menghasilkan keputusan:
1. Menolak teori-teori individualis, didasarkan atas pertimbangan, teori tersebut bisa menciptakan penindasan seseorang terhadap orang lain, termasuk menciptakan politik ekspancionis, militer, ekonomi.
2. Menolak teori Karl Marx, Engels dan Lenin yang bertentangan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia.
3. Menolak terhadap suatu bentuk negara Islam bagi Indonesia karena tidak memisahkan antara negara dan agama, sekalipun mayoritas rakyat indonesia memeluk agama Islam, pemeluk agama yang merupakan minoritas tidak akan merasa sebagai warga negara kelas dua. Toleransi beragama berdasarkan falsafah hidup bangsa, (Pancasila) merupakan satu-satunya saluran kearah tercapainya suatu kehidupan yang
saling berdampingan secara damai.

Pada akhirnya Teori Adam Muller, Hegel (Abad 18-19)yang dipilih. Teori  yang mengemukakan Teori Negara Kesatuan. Menurut teori ini negara tidak semata-mata menjamin kepentingan individu, kelas atau kelompok, bagaimanapun kuatnya kelompok itu. Tetapi negara memberikan jaminan atas kepentingan masyarakat secara keseluruhan sebagai satu kesatuan, struktur sosial dan negara disatukan, seluruh kelas, bagian-bagian serta semua anggota masyarakat secara erat dirangkaikan sebagai satu kesatuan yang organik. Soebardjo menyatakan bahwa tokoh kunci teori ini adalah Prof. Dr. Mr. Supomo dan Mr. Muhammad Yamin,
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Soebardjo bersama sejumlah tokoh dan penduduk Jakarta menyambut kedatangan Dr. Radjiman, Soekarno-Hatta, di Bandar Udara Kemayoran. Masih ada tiga orang lagi yaitu Mr.Teuku Moh. Hassan, Dr. Amir, dan Mr. Abas, yang ikut serta dalam rombongan Rajiman. Mereka adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang mewakili Sumatera.
Setelah turun dari pesawat, Soekarno memberikan pidato singkat,
“Jika beberapa waktu yang lalu saya menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah, sekarang saya menyatakan kepada kamu bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman tersebut berbunga”.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 di Jakarta terdengar desas-desus bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Soekarno dan Hatta berusaha untuk mencari kebenaran desas-desus itu, mendatangi Sunseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer). Tidak bertemu Pejabat Jepang yang dimaksud Jenderal Yamamoto Moichiro, Mereka datang ke Kantor Soebardjo dengan harapan memperoleh informasi dari Soebardjo. Soebardjo mengusulkan agar mereka dapat konfirmasi dari Laksamana Maeda. Soekarno, Hatta, Soebardjo datang menemui Maeda. Jawaban Maeda tidak tegas, tidak membantah, dan tidak membenarkan desas-desus tersebut. Mereka meninggalkan kantor Maeda pada sore hari tanpa hasil.
Soebardjo kemudian mengajak Hatta untuk menemui Soekarno pada malam itu. Mereka diterima Soekarno pukul 11.00 malam (23.00). Ia duduk dikelilingi oleh sejumlah pemuda antara lain Wikana, suasana mereda setelah kami datang tulis Soebardjo. Para pemuda menginginkan agar kemerdekaan Indonesia di proklamasikan pada malam itu juga dengan nada mengancam. Soekarno menolak, karena harus di bicarakan dulu dalam siding PPKI. Ancaman Wikana dijawab oleh Soekarno. “Ini batang leher ku, seretlah saya kepojok itu dan potonglah leherku malam ini juga!.” Wikana mundur.
Kemudian Hatta memperingati Wikana antara lain: ”jika sodara tidak setuju apa yang saya katakan dan mengira sodara telah siap dan sanggup memproklamasikan, mengapa sodara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan itu? Wikana terdiam, drama menjelang proklamasi itulah yang disaksikan oleh Soebardjo. Seusai menyaksikan drama proklamasi tersebut Soebardjo dan Hatta meninggalkan rumah Soekarno, waktu telah menunjukan waktu malam.
 Rengasdengklok
Pada hari ini pukul 08.00, Soebardjo menerima laporan dari sekretarisnya Embah Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan tidak tahu dibawa kemana, menambahkan, setelah para pemuda mengadakan rapat dikantor Soebardjo dan Wikana ada diantara mereka. Soebardjo kaget, peristiwa ini dinilai gawat, karena pada pukul 10.00 akan diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa ketua dan wakil ketua tidak mungkin rapat terselenggara. Ia menduga bahwa Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta.
Soebardjo kemudian memerintahkan sekretarisnya, agar memanggil Wikana, terjadi dialog, “Apa yang telah kamu perbuat terhadap Soekarno dan hatta?” Tanya Soebardjo. “Itu keputusan kami dalam pertemuan semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta” jawab Wikana. Apakah akibat dari tindakan tersebut sudah kamu putuskan? Tanya Soebardjo. ”Keputusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan semua golongan pemuda, tugas saya membujuk Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin.” Jawab Wikana. Soebardjo menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-Hatta. Wikana tidak menjawab, kemudian pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna, maksudnya untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana Soekarno-Hatta disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda kepada Wikana. Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi Kemerdekaan harus dilakukan dengan damai, yang akibatnya merugikan perjuangan kita. Wikana dan Pandu keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30, Nishijima, Shigetada datang dan rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa Angkatan Laut akan mendukung Proklamasi Kemerdekaan.
Pada kira-kira pukul 16.00, dengan mobil Skoda Soebardjo, Jusuf Kunto, Soediro kearah Jatinegara terus kearah Timur.. Jusuf Kunto mohon diri meninggalkan Soebardjo, melapor kepada Soekarni. Dengan mengenakan seragam PETA, Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi dialog singkat, Soekarni menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukan prakarsa pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi. Soebardjo dan Soedira mengikuti Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA Rengasdengklok, Cundonco Subeno. Untuk meyakinkan niat dan itikad kedatangan Soebardjo ke Rengasdengklok bukan untuk kepentingan Jepang. Soebardjo di interogasi dengan sejumlah pertanyaan. Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo menjaminkan dirinya untuk siap ditembak. Seusai acara interogasi ini Soebardjo diantar ke sebuah rumah dipertemukan dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala melihat Soebardjo, Soekarno terperanjat langsung bertanya apakah Jepang sudah menyerah? Soebardjo memberitahu bahwa ia mendapat informasi penting ini dari Laksamana Maeda. Kemudian diputuskan untuk segera kembali di Jakarta. Dengan tiga buah mobil mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta pada pukul 21.00. Perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir disergap oleh tentara Jepang. Tiba dirumah Soekarno pada pukul 21.00 dilanjutkan ke rumah Hatta. Sesudah istirahat beberapa saat, Soekarno, Hatta dan Soebardjo tiba di rumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan terima kasih atas penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat pertemuan.
Mempersiapkan Proklamasi
Di rumah Maeda ternyata sudah banyak orang berkumpul sebelum rombongan dari Rengasdengklok memasuki rumah ini. Soekarno dan Hatta bersama Maeda meninggalkan rumah. Pada kurang lebih pukul 02.00, Soekarno, Hatta dan Maeda tiba kembali bersama Kolonel Miyoshi, Perwira penghubung Angkatan Darat yang mantan Diplomat, kemudian mereka berunding. Soekarno, Hatta, Miyoshi, Soebardjo, Maeda, Nishijima menghadap meja bundar, di belakangnya duduk Soediro, Soekarni, dan B.M. Diah, baru kemudian Soebardjo memperoleh informasi dari Hatta bahwa mereka datang ke Gunseikon (Kepala Pemerintah Jepang) Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro, dan Mayor Jenderal Nishimura, Otoshi, samubuco (Kepala Bagian Pemerintahan Umum) tanpa hasil. Nishimura berpegang teguh pada prinsip status quo. Tidak ada boleh kegiatan politik sesudah tanggal 15 Agustus 1945.
Dari pertemuan meja bundar di rumah Maeda ini diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan tanpa persetujuan Angkatan Darat Jepang. Kemudian Maeda, Nishijima, dan Miyoshi tempat. Ketika Soekarno, Hatta, Soebardjo akan menyusun redaksi (teks) Proklamasi,. Soekarno mengambil secarik kertas, menulis sesuai dengan yang saya (Soebardjo) ucapkan. “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan”. Soekarno kemudian menambahkan :”Hal-hal yang mengenai pemindahan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Menurut Soebardjo inilah teks awal, rupanya Soekarno tidak menuliskan rakyat, tetapi Bangsa. Mula-mula Soekarni yang diminta untuk mengetiknya, Ia kemudian pergi ke dekat Dapur. Sayuti Melik dan beberapa orang lain sedang duduk-duduk. Dia diminta oleh Soekarni untuk mengetiknya yang kebetulan di ruangan itu ada sebuah mesin ketik. Seusai diketik teks ketikan diserahkan kepada Soekarni selanjutnya diserahkan kepada Soebardjo, Kemudian diterima oleh Soekarno. Dr. Radjiman, Prof. Supomo, Dr. Ratulangi, Mr. Latuharhary, Dr. Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri. Di antara para pemuda, B.M. Diah, Adam Malik, Mando Nitimhardjo, Pandu Kartawiguna. Soekarno didampingi oleh Hatta membacakan Teks Proklamasi. Soekarni yang telah membaca sebelumnya mengkritik sebagai teks lepas dari semangat revolusioner, lemah, tidak mempunyai kepercayaan diri, ia tidak setuju dengan kalimat kedua, karena ia tidak percaya bahwa Jepang akan menyerahkan kekuasaannya kepada kita dengan cara sukarela kita harus merebutnya dari tangan mereka, terjadi perdebatan setelah penilaian Soekarni.
Para anggota PPKI menentang perubahan teks. Soekarno menawarkan siapa yang membubuhkan tandatangannya pada teks, mereka sepakat yang menandatangani teks Soekano dan Hatta, diusulkan dibacakan di lapangan Ikada. Soekarno menolak pembacaan teks Proklamasi akan dilakukan di rumahnya Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10.00. Subardjo merasa bahwa tugasnya telah selesai, setelah dua hari diliputi suasana tegang. Ia tidak hadir dalam upacara tatkala Soekarno yang didampingi Hatta mengucapkan Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.
c. Tugas-tugas Achmad Subarjo sebagai Mentri luar negeri pertama :
Hari-hari sesudah Proklamasi diliputi kesibukkan yang luar biasa pada tanggal 18 Agustus 1945, para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berkumpul di Pejombon, mereka mewakili rakyat Indonesia mengesahkan Undang-undang yang telah diselesaikan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada hari berikutnya PPKI bersidang kembali, Presiden Soekarno menunjuk Soebardjo sebagai ketua panitia kecil, yang beranggota 2 (dua) orang Soebardjo Kartohadikusumo, Alex Andries Maramis . Tugas panitia kecil adalah merumuskan organisasi pemerintah pusat. Hasil rumusan itu panitia kecil menyampaikan saran agar pemerintah pusat dibagi atas 10 Departemen, setelah dibahas pada sidang Pleno diterima oleh Presiden. Soebardjo pada sidang itu mengusulkan tambahan enam orang Menteri Negara, berhubung Negara dalam situasi Revolusioner. Tugas Menteri Negara bersifat khusus, dapat bergerak cepat apabila ada situasi darurat, mereka dapat diutus oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah, usul ini diterima oleh presiden, namun yang diangkat hanya lima orang, setelah sidang presiden membentuk kabinet. Pemerintah RI yang pertama ini terdiri atas 18 Menteri, 13 Menteri pemimpin departemen dan 5 Menteri Negara. Soebardjo ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri.
Tugas pertama Menteri Luar Negeri adalah membangun kementerian, karena sebelumnya tidak ada seorang Indonesia pun pernah bekerja di Kementerian ini. Gedung Kementerian harus dicari, rumah tempat tinggal pribadi keluarga Soebardjo dijadikan Kantor Kementerian, tidak ada pilihan lain. Selanjutnya adalah merumuskan dasar-dasar politik luar negeri suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Soebardjo mengantisipasi akan hadirnya tentara sekutu di Indonesia. Oleh karena itu baik presiden, wakil presiden, dan menteri luar negeri terus menerus berkampanye bahwa Republik Indonesia adalah Negara demokrasi dan mentaati semua hukum hubungan Internasional. Atlantic Charter, Diagram PBB diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia disebarkan ke seluruh jajaran pemerintah. Tujuan utama adalah bagaimana lahirnya dan eksistensi Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh dunia Internasional. Kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda sudah berakhir sejak bulan Maret 1942 dan pemerintah militer Jepang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Di samping pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia, Bangsa Indonesia telah bertekad mempertahankan Kemerdekaan dan Kehormatannya dengan cara apapun. Tekad bangsa ini berhasil, tatkala tentara sekutu akan masuk ke Indonesia untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan protokol Dotsdam, terlebih dulu mengakui secara de facto Negara Republik Indonesia dan memberitahu Kementerian Luar Negeri rencana kedatangannya. Peristiwa bisa dianggap sebagai sukses pertama dari kampanye Kementerian Luar Negeri.
III.    Penutup :
Ahmad Subardjo memainkan peranan penting menjelang Proklamasi Kemerdekaan, bersama Bung Karno dan Bung Hatta merumuskan teks proklamasi, anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan sering menjembatani pertentangan antara kelompok pemuda dan kelompok tua. Tapi sebetulnya perjuangan Ahmad Subardjo telah dimulainya sejak ia menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Leiden tahun 1919.
Dalam Tulisnya tentang 17 Agustus 1945: (Saya masih tidur sewaktu kurang lebih pukul 10.00 pagi pada tanggal I7 Agustus datang dua utusan dari Soekarno dan Hatta untuk membangunkan saya. Mereka mengatakan saya harus segera berpakaian untuk menyaksikan upacara pengibaran bendera nasional sang Merah Putih dan Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan. Saya merasa begitu lelah dari kejadian yang menegangkan syaraf yang baru saya alami sepanjang hari dan malam sebelumnya, sehingga saya memutuskan untuk meneruskan istirahat saja. Apalagi yang aya ingini Mimpi Indonesia Merdeka telah menjadi kenyataan. Apa bedanya saya hadir dan tidak? Hal yang paling penting adalah bahwa kita sendiri dan generasi berikutnya dari rakyat saya telah menjadi warganegara yang bebas dari sebuah Negara Merdeka: REPUBLIK INDONESIA. Saya mengirim sebuah pesan kepada Bung Karno dan Bung Hatta meminta mereka untuk memaafkan ketidak hadiran saya dan supaya mereka segera saja memulai upacara Proklamasi Kemerdekaan. Subardjo tidak sempat menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan yang bersejarah itu. Tapi namanya akan tetap tercatat dalam sejarah Indonesia, mungkin sebagai tokoh kontroversil. Ia pernah dianggap sebagai “kolaborator Jepang” karena peranannya sebagai Kepala Biro Riset di Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di Indonesia antara 1943-1945. Pernah juga ia dianggap “pro Amerika” ketika ia menyetujui Mutual Security Act (MSA) yang menyebabkan kejatuhannya sebagai Menlu (1952). Tokoh-tokoh sejarah Indonesia ternyata memang tidak luput dari pertentangan, mungkin juga kesalahan. Tapi perkembangan menunjukkan bahwa kekeliruan dan perbedaan bersifat nisbi. Pada aknirnya, seperti Subardjo, semua diterima sebagai bakti.
Dari perjuangan yang disemarakkan oleh Achmad Soebarjo tersebut kita sebagai generasi bangsa bisa mengambil beberapa teladan dari Beliau diantaranya sebagai berikut :
1. Tanggung jawab
2. Adil dan Bijaksana
3. Semangat Patriotisme/Nasionalisme yang tinggi
4, Rela menolong tanpa pamrih
5. Orang yang sederhana dan tidak sombong
6. Cinta terhadap Tanah Air Indonesia
Secara keseluruhan pernana Achmad Soebarjo dalam kemerdekaan Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut :
Peranan Ahmad Subarjo dalam kemerdekaan Republik Indonesia
1. Berjuang melawan penjajah dengan sikap anti penjajahnya
2. Berani baertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya demi kelangsungan kemerdekaan Republik Indonesia dalam peristiwa rengasdengklok
3. Membantu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta merumuskan dasar negara.
4. Membantu urusan pemerintahan dalam kemerdekaan RI
5. Membantu menyelesaikan konflik antara golongan tua dan muda dalam kelangsungan Kemerdekaan
6. Mengisi pemerintahan sebagai menteri pada kabinet Ir. Soekarno

Ahmad Subardjo meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1978 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Cibogo. la menerima tanda penghargaan :
a. Order of Merit dari Pemerintah Mesir, 1954
b. Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, 1961
c. Bintang Mahaputra Adipradana, 1973
d. Bintang Republik Indonesia Utama., 1992
Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 058/TK/Tahun 2009 tanggal 6 November 2009.
Saran
Kita hendaknya sebagai generasi penerus bangsa harus mengetahui  erjalanan dan jerih payah para tokoh kemerdekaan yang pontang-panting unuk mencapai satu kata, yaitu merdeka.Kita juga sebagai generasi penerus bangsa harus menyadari bahwa dasar negara kita dicetuskan oleh para tokoh dengan berbagai pertimbangan kultur masyarakat Indonesia yang dimana dapat menangpung seluruh masyarakat Indonesia yang pluralis itu. Maka dari itu kita harus menjaga agar NKRI kita ini utuh dan menolak paham-paham yang berusaha mengubah falsafah bangsa Indonesia ini, entah paham komunis, liberalis, sosialis, bahkan agamis yang baru-baru ini mencuat.
IV.Daftar Pustaka

PT TEMPO Inti Media. Bersama Bung Hatta. Jakarta. Majalah TEMPO. 08/05 1975-04-26


Sebuah kisah. “Ahmad subardjo (1896-1978)” . 12 Maret 2017.http://s-kisah.blogspot.co.id/2012/04/ahmad-subardjo-1896-1978.html   

Publisher, Redaksi Great. 2009. Buku Pintar Politik - Sejarah Pemerintahan Dan Ketatanegaraan. Yogyakarta; PT. Galangpress Media Utama.

Bahsan, Omar. 1955 . jatatan Ringkas Tentang : PETA (Pembela Tanah Air) dan Peristiwa Rengasdengklok. Bandung: N. V. Melati

Djoyoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978. Kesadaran Nasional: Otobiografi Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo. Jakarta: Gunung agung.


Imam Fahrul Islam, Melati Sasabila, Milani Indah Kusumaningsih, Riska Ayu Wardani.2016. TOKOH PROKLAMASI – ACHMAD SOEBARDJO. Diakses melalui https://www.academia.edu/24524030/Achmad_Soebardjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DON'T RUSUH!